Nov 19, 2009

PERJALANAN


Selasa, 17 November 2009. Kami langkahkan kaki di siang hari yang terik menuju sebuah stasiun senen. Saya dan Fadil berniat untuk pergi ke yogya, karena agak jauh maka kami pergi ke bandung. Tujuan saya ketika itu hanya mengantarkan Fadil untuk mengetahui salah satu PTN ITB, mungkin dengan melihat langsung beliau bisa tumbuhkan semangat dan bangkitkan nyali untuk robohkan tantangan dan memecahkan rahasia kehidupan, tapi selain itu tujuan saya adalah melakukan riset. Tepat jam 16.30 kami tiba di Stasiun Senen, segera kami memberi tiket tujuan Jakarta-Purwakarta. Mengapa Purwakarta?, seharusnya Bandung, kami melakukan perjalanan ini untuk menghemat biaya, karena kalau kami membeli tiket Jakarta – Bandung harganya lumayan mahal. Jadi, kami siasati dengan membeli tiket Jakarta – Puwakarta, selanjutnya kami bisa melanjutkan perjalanan ke Bandung dengan membeli tiket Purwakarta – Bandung.
Kami berangkat dari stasiun senen pukul 17:45. Terkejut saya melihat aktifitas yang terjadi di dalam kereta, bukan hanya terlihat orang dengan wajah lesu yang baru pulang bekerja. Tapi, saya melihat sebuah aktifitas perjudian di atas angkutan masal tersebut, di setiap gerbong pasti ada tiga atau dua kelompok yang melakukan perjudian. Jadi, kalau ada 14 gerbong berarti ada 28 kelompok, 140 orang yang berjudi. Ironis memang, karena saat itu saya sering mendengar berita tentang kiamat di media massa, katanya orang-orang takut kiamat ?, kenapa bila ada suara Adzan terdengar tidak segera shalat, bahkan ada yang melanjutkan aktifitasnya sampai ke waktu shalat berikutnya, terus masih ada aja yang melakukan perjudian, sampai-sampai kereta yang lewat menjadi objek perjudian untuk menebak berapa rankaian gerbong keretanya.
Kereta yang kami naiki terkadang berhenti sejenak di stasiun untuk menurunkan penumpang, semakin lama penumpang angkutan masal ini semakin menyusut sehingga kami leluasa untuk memilih tempat duduk. Terlihat dua orang anak yang mondar-mandir dari satu gerbong ke gerbong lain, umur mereka sekitar 9 – 10 tahun. Saya perhatikan pakaiannya yang kotor sepertinya mereka jarang pulang, mungkin gerbong menjadi tempat bermainnya setiap hari. Kemudian kami berdua bertanya kepadanya:
Kami: “Siapa namanya ?”, kemudian anak itu menjawab “Nama saya Mamad”.
Kami: “Kalau kamu (temannya) siapa namanya?”, dia menyebutkan namanya “.....”
Kami: ”kalian tinggal dimana?”, Mamad menjawab dengan malu-malu “saya tinggal di bunguran” , dan .... menjawab dengan tegas “kalau saya di jatinegera”.
Kami: “Kalian sekolah ngga?”, dari gelagatnya mereka menjawab ragu-ragu, mereka mengatakan “Sekolah”.
Kami: “kalian kenapa masih main?, bukannya besok sekolah”, ... menjawab “besokkan hari minggu” dia jawab dengan yakin seyakin-yakinnya. Tersentak saya berpikir apa maksudnya dengan mengatakan besok hari minggu, padahal saya telah beritahukan bahwa besok hari rabu, tetap saja dia bersih keras mengatakan hari minggu.
Kami: “kalian berdua kenapa bisa akrab?”, dengan spontan ... mengatakan “kami damai”. Kembali saya terkejut, apa maksud dari perkataannya?. Seorang anak, saya yakin dia tidak sekolah, mengatakan dan sepertinya mereka mengerti “damai”, hidup mereka berdua sama-sama memprihatinkan. Sementara, saya menyaksikkan mahasiswa sesama mahasiswa saling pukul-memukul, padahal mereka orang terpelajar.
Kemudian kami melanjutkan pertanyaan “ apa cita-cita kalian ?”, mereka langsung menghindar dan langsung berusaha meninggalkan kami. Kami berusaha membujuk mereka berdua untuk kembali, tapi mereka tetap tidak mau. Saat itu saya renungkan sikapnya, apa yang terjadi dengan anak itu?. Memang kalau saya analisa dari sinar matanya, kelakuan, dan sikapnya tampak seperti ada tekanan di dalam batinnya. Apa mungkin, di dalam hatinya sudah tidak mengenal lagi cita-cita dan mereka sudah hapus cita-citanya???.
Gelap , suasana didalam gerbong yang kami naiki gelap mencekam, tak ada penerengan, namun kami menikmati semua itu. Di dalam gerbong kami saling bersenda gurau. Tiba-tiba ada seorang nenek duduk di samping Fadil, dia berkata “mau kemana jang?”, Fadil menjawab “mau ke Purwakarta Bu”. Tidak begitu lama, nenek itu pergi pindah ke tempat gerbong yang lain. Pukul 22:55, sampai juga kami di Stasiun Purwakarta. Kali ini kami harus menunggu di peron, karena kereta Purwakarta – Bandung datang Jam 23:45. Saya berjalan – jalan menelusuri peron, ada sebuah pemandagan yang membuat ku terpana. Ku lihat seorang nenek menggelar terpal di depan peron, di atas terpal itu sorang nenek merebahkan tubuhnya yang sudah semakin sarat. Setelah saya perhatika ternyata beliau adalah seorang nenek yang tadi di kereta. Melihat pemandangan seperti ini membuat hati ini selalu bertanya, apa yang dapat saya lakukan untuk menolong mereka?, untuk saat ini, saya hanya bisa berdoa semoga Allah SWT memberikan pertolongannya kepada mereka, dan belajar sebaik-baiknya, kelak esok saya dapat menjadi pemimpin yang dapat mensejahterahkan bangsa ini. (bersambung)