May 6, 2011

Pakai Sandal

06 Mei 2011
Langit Malam Jakarta.

Hari ini saya memulai aktifitas seperti biasa menuju paguyuban-paguyuban fakultatif untuk belajar ilmu fakultatif. Sedikit berbeda penampilan saya ketika berangkat,yaitu kebiasaan saya memakai sepatu berganti memakai sandal. Karena lambung-lambung sepatu saya yang bolong maka air hujan yang tergenang kemarin menerobos masuk ke sepatu sehingga hari ini sepatu terlihat kering namun dirasakan basah.


Kenyamanan jauh lebih nikmat menggunakan sandal karena telapak kaki langsung mendapatkan udara segar dari alam. Alam memiliki sebuah kekuatan yang bersinergi dengan setiap mahluk ciptaannya untuk saling memberikan keuntungan. Di dalam tubuh manusia terdapat organ yang memilki otoritas dan non-otoritas. Organ yang non-otoritas bekerja karena adanya energi yang dipancarkan alam kepada manusia, tentunya sumber energi ini sejatinya bersumber dari Allah yang Maha Segalanya. 

Sampai dikampus sejenak saya menyapa kawan-kawan yang sudah lama menunggu dibawah pohon, tampak wajah-wajah pembawa obor penerang peradaban yang tidak begitu resah menunggu dosennya. Setelah menyapa, hasrat membawa saya ke warung gua hira yang berada dibawah tangga di dalam gedung jurusan. Gua hira ini menyediakan makanan untuk para tamunya yang diberikan otoritas penuh jika anda mau makan, tinggal meraih sendiri. 

Kesempatan begitu terbuka untuk korupsi. Anda bisa bilang menghabiskan gorengan dua lembar meskipun sesungguhya anda terus menggerus gorengan dua puluh lembar. Baginya berjualan bukanlah konsep profesionalisme kita yang modern. Berjualan adalah menjalani hidup, sama dengan shalat. Yang penting bagaimana menjalani kegiatan ibadah itu dengan jujur, ikhlas dan apa adanya. Perkara anda korupsi bukan perkara yang empunya warung. Ini merupakan fenomena yang tidak akan anda jumpai pada warung-warung kelas atas.

Ada sudut warung gua hira, terlihat kakak kelas dan langsung saya buru dengan berjabat tangan dan sapa. Salam dan jabat tangan adalah pembuka gerbang persaudaraan. Terjadilah percakapan diantara kami
 “Ada kuliyah??”. tanya beliau.
“Ada kak,  pemrograman komputer”, jawab saya.
“Kok pakai sandal?”, serangan pertanyaan kedua beliau.
“Iya, sepatunya ada di tas”, kembali saya menjawab.
Suasana menjadi hening seiring percakapan yang sudah selesai, maklumlah saya ini tidak punya topik pembicaraan yang lebih penting, jadi saya tidak banyak berdialog. Sejenak saya berpikir dan teringat Gajah Mada yang berhasil melakukan ekspedisi pamalayu tanpa pencitraan satelit dan tanpa walky talky. Kita membikin buku pelajaran dan mengajari siswa-siswa sekolah dengan hal-hal kekuasaan. Tapi kita tidak tahu apakah keseharian majapahit pakai jarum jika menjahit pakaian.

Sepatu yang kata orang-orang pintar sekarang sebagai pelindung kaki. Tapi toh mereka berjalan menghindari genangan air, bahkan lebh memilih kenyamanan berjalan diatas karpet tebal. Apalagi kalau saya membayangkan orang memakai dasi, muncul pertanyaan: apa sebenarnya fungsi dasi? Sungguh benda yang benar-benar tidak bisa dipahami apa kegunaannya, kecuali untuk siap-siap kalau sewaktu-waktu pemakainya ingin bunuh diri dengan cara menggantung diri atau menjerat leher. 

Sepatu atau sandal seharusnya membuat telapak kaki manusia untuk lebih kuat dan lebh siap menghadapi medan jalan yang memilki dinamika perubahan yang mengurangi kenyamanan, bukan membuat kita gengsi karena tidak memakai sepatu atau sandal jika jalan-jalan di Malioboro.
Salam Kemesraan...