Tukang Desain Tidak Takut Drop Out
Alhamdulillah
Bismillah-irrahman-irrahim
Pertama, saya sangat serius untuk buat tulisan ini. Kedua, ini bukan untuk mengungkap kejelekan siapapun. Dari setiap orang, sebisa mungkin saya mencari kebaikannya daripada keburukkan. Kecuali pada diri saya, yang saya cari adalah keburukan saya.
Semester 5 ini entah mengapa saya merasa curiga menyaksikan gelagat teman saya yang Tukang Desain. Jumlah SKS lumayan banyak, tapi jarang ada dikelas. Sebelumnya saya pernah berkunjung ke rumahnya, ditemukan bacaan yang cukup memprovokasi pemikiran seperti 'untuk apa sekolah?'. Kemungkinan tukang desain ini sudah sangat mengerti apa itu Universitas? apa itu sekolah?. Jadi sekolah dan kuliah ituadalah tempat untuk mengisi waktu luang saja.
Sebelum lebih jauh, saya menulis alif, ba, ta, tsa. Ada dugaan awal, kenapa si Tukang Desain ini jarang masuk ke ruang kuliah?. Kemungkinan pertama, Sang Dosen memang tidak serius untuk mempehatikan mahasiswanya, yang penting materi terucap dari mulutnya-kemudian diterima receiver pendengaran mahasiswa. Kalau hal seperti ini praktiknya, maka menurut teori Konfusius yaitu ; mendengar saya lupa, melihat saya ingat, melakukan saya paham. Jadi kita ini selalu dipaksa untuk memakan rumus-rumus yang dibeli dari Barat, sementara disaat yang lain kita gelagapan untuk merumuskan penyelesaian masalah di masyarakat. Kemungkinan kedua, mahasiswanya memang tidak punya niat untuk belajar. kemungkinan lain, ... silahkan isi sendiri titik-titik itu.
Kalau kita meluas mengenai kuliah dan universitas ini. Kuliah itu berasal dari bahasa arab yaitu Kuliyyah. artinya setiap keseluruhan. Maka dari makna tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa kuliyyah itu belajar secara keseluruhan, bukan hanya fakultatif sehinga menjadi sarjana yang falkutatif, tetapi menjadi sarjana yang universal, sebagaimana kata univeristas itu sendiri. Maka di universitas jangan cari Tuhan, sebab menurut analisis ilmiah akademis, Tuhan itu tidak bisa diteliti, tidak bisa didata, tidak bisa dianalisis, dan tidak bisa disimpulkan. Universitas itu sangat atheis. Hubungan kita dengan Tuhan cukup dengan ma'rifat. Sangat tepat kalau teman saya si Tukang Desain ini lebih aktif di diluar ruang kuliah, disana ia bisa menemukan Allah, dimanapun kesadarannya tentang Allah, berpesta Allah. Kalau ilmiah akademis yang baku dan padat itu tentu Tukang Desain ini tidak leluasa, untuk menuliskan kesimpulan skripsinya dengan diawali kalimat "InsyaAlloh berdasarkan penelitian ini, jika begini akan terjadi seperti ini, itu, dan seterusnya". Maka hanya diluar ilmiah akademis ia bisa menuliskan "Peran Allah dalam setiap apapun saja yang terjadi".
Kita lebih mendalam lagi, setelah lulus kuliah engkau akan dapat sertifikat, ijazah atau apapun itu. Apakah setelah mendapat ijazah, menandakan kita selesai menuntut ilmu?. Kenapa orang-orang yang berada diluar universitas, yang juga melakukan eksperimen, tidak bisa diberi gelar sarjana. Penjual tahu, melakukan eksperimen bagaimana cara memasak tahu agar memiliki kandungan gizi yang cukup dan enak dimakan. Kehidupan itu menuntut ilmu. Kalau sekolah tujuannya untuk menuntut ilmu, apakah setelah lulus sekolah, selesai juga menuntut ilmunya. rek..rek, bisa-bisa dedemit, jin-jin mentertawai kita, "Sarjana itu hanya emblem, bukan hakikat". Berdasarkan historisnya, gelar sarjana itu memang diberikan oleh orang yang sudah sarjana?. Kalau yang memberi gelar sarjana belum punya gelar sarjana, memangnya sah sarjananya?. Setelah lulus nanti, saya hanya menyarankan kepada teman-teman semua “Ayo kita tertawakan diri kita sendiri atas gelar sarjana yang kita peroleh”. Beruntung, Tukang Desain ini sangat mengerti bahwa gelar sarjana hanya emblem, ndak ada pengaruh apa-apa ketika nanti jasad terkubur. Apa yang akan ditanyakan di alam kubur akan dijawab sesuai dengan apa yang kita intensifkan dalam kehidupan. Kita tidak bisa merencanakan jawaban untuk pertanyaan malaikat nanti. Sebab yang menjawab adalah amal saleh yang kita lakukan. Manusia modern sekarang memang punya pandangan unik kalau rukun iman masa depan adalah ijazah.
Ini mungkin sebuah sikap Tukang Desain atas dinding-dinding yang menghimpit keingintahuannya. Seperitnya si Tukang Desain tidak hanya ingin mengenal gajah hanya belalainya saja. Tapi, ia ingin tahu kuping gajah hidung gajah sehingga menjadi mahasiswa universal yang tidak dibatasi bidang keilmuannya sendiri-sendiri. Kalau kita hanya berkembang menjadi mahasiswa yang memandang sesuatu secara sepihak dan egoistik dengan keilmuan yang kita pelajari secara falkutatif, ini akan berakibat fatal jika dipraktikan dalam mekanisme politik, bisa jadi keputusan yang kita ambil adalah subjektif dan otoritarianistik. Mungkin kita harus bercermin pada Ibnu Khaldun atau Al Farabi. Penghayat kimia tapi juga mampu memperoleh kearifan filosofis. Peneliti mikrobiologi tapi mampu menemukan kekhusyukan religius.
Hal yang paling saya suka dari tukang desain ini adalah tidak pernah takut dapat nilai E atau dinyatakan tidak lulus. Ini mengingatkan saya pada Kisah Nabi Musa dan Profesorrnya Nabi Khidir. Profesor Khidr menyampaikan 3 Bab Pembelajaran. Bab 1 Melubangi Perahu orang Miskin, Bab 2 Membunuh seoarang anak muda, Bab 3 Mendirikan Pagar yang hampir roboh. Dari ketiga bab tersebut Nabi Musa di Drop Out karena melanggar peraturan yang sudah disepakati dan akhirnya ia men-Drop-Out dirinya sendiri sesuai dengan konsistensi syarat yang diucapkannya. Pertanyaan-pertanyaan Nabi Musa adalah bentuk pertanyaan atau sikap kritis terhadap sesuatu yang belum diketahuinya. Murid Profesor Khidr belajar bukan demi nilai, sehingga ia tidak pernah takut untuk Drop Out demi mengetahui apa sebenarnya dibalik hikmah yang dilakukan profesornya tersebut,. Kalau saja itu terjadi pada saya atau teman-teman yang lainya, tentu kita menginginkan penjelasan secara logika atau ilmiah akademis. Kenapa kok tiba-tiba bisa langsung membolongi perahu nelayan, tanpa memberikan penjelasan secara analisis ilmiah akademis. Ada wilayah-wilayah yang bisa dilogikan oleh loagika manusia dan ada wilayah dimana dibutuhkan keyakinan. Profesor Khidr pada akhirnya mampu menjelaskan kenapa harus melakukan itu semua. Kalau kita hanya mengandalkan ilmu pengetahuan yang padat dari universitas atau sekolah tentunya kita tidak akan mencapai hipotesis tentang Allah, malaikat, jin, setan, dajjal. Padahal setiap berlangsungnya detik Allah sangat berperan pada segala hal dalam kehidupan manusia. Mungkin kisah Nabi Musa yang tidak pernah takut di Drop Out menjadikan tukang desain ini untuk belajar tidak mengejar nilai apalagi emblem sarjana.