Feb 24, 2013

Mereka Lebih Rasional dan Independen

Bismillah-irrahman-irrahim
Alhamdulillah

Sumber : arief hermansyah

Terkadang saya suka mlaku di Padepokan falkutatif-falkutatif. Memandang kesegala arah. Aduh, kok kaya gini. Semua jadi kacau. Salah penyelenggaraan pendidikannya atau memang itu jalan hidup mahasiswa. Sangat tidak relevan dengan institusi yang mereka diami. Padepokan yang ditujukan untuk memproduk guru-guru, tapi sangat tidak layak kalau lelaku calon guru atau calon sarjana kesana kemari dengan pakaian menarik tapi tak terpelajar, gaya hidup yang nyaman tapi tak peka keadaan sosial, wanita modern tak mau kalah untuk ikut menghisap asap, baru 68 tahun merdeka mereka sok tahu kalau keadaan sudah aman dari penjajah. Kalau didaftari tentang layak atau tidak menjadi mahasiswa tentu catatan ini akan semakin panjang. Tapi masih ada mahasiswa yang punya kepekaan sosial, punya visi merubah keadaan bangsanya. Kalau orang seperti saya masih diragukan, uncategory.


Lihat disekeliling, seharusnya Mahasiswa padepokan ini berguna bagi kehidupan dan memecahka masalah sosial. Sangat tidak pararel antara aktivitas yang berlangsung dengan fenomena sosial yang nyata. Anak-anak kesana kemari sekedar mencari receh untuk menambah uang saku, ibu-ibu tangguh menyisir setiap sudut hanya untuk mengais yang tersisa, kadang orang tua yang usianya sudah veteran masih memanggul beban berat. Mereka tidak wajib miskin, meskipun berhak memilih miskin, selama kemiskinannya adalah jalan yang tepat untuk menkondisikan kedekatannya dengan Allah. Mereka juga tidak dilarang kaya, sepanjang kekayaanya membuat setia dan cinta kepadaNya. Mereka pasti juga punya cita-cita ingin jadi lurah, camat, gubernur, walikota, presiden. Rakyat akan tetap menjadi rakyat meski tanpa Presiden, Presiden tidak akan menjadi presiden tanpa rakyat. Rakyat Indonesia sangat revolusioner, tubuhnya sakit tapi mereka harus menyatakan sehat, makan nasi basi tapi mereka harus bilang nasi goreng. Pada akhirnya mereka meyakini bahwa makan duri itu enak serasa keju.

Persaan romantik itu selalu timbul dihadapan wajah-wajah mereka. Ada sebuah bisikan dari adegan-adegan yang mereka perankan. Orang tua renta itu sepertinya lebih rasional dan independen dibanding seorang mahasiswa yang hadir di padepokannya yang sangat asik dengan aksesoris mp4 player lengkap dengan headset, sibuk pijit-pijit Smart Phone model terbaru dalam genggamannya. Nenek dan Kakek dalam bayang usia senja itu tidak terlintas dalam akal sehatnya untuk sekedar menikmati alunan lagu dalam hidupnya, mereka harus terus berlari agar esok bisa tetap makan. Mereka pikul beban berat kesana kemari sendiri, berbeda dengan Dekan di Padepokan yang bisa memerintah bawahannya “Tolong ambilkan tas saya di mobil, ini kuncinya”.  

Sesungguhnya ada suara sangat keras dari geliat kehidupan mereka. “Nak tolong segera selenggarakan keadilan ekonomi kita, sehingga di negeri kaya yang bocoran surga ini tak ada orang yang bekerja seperti saya”. Meskipun itu tak benar-benar mereka ucapkan, apalagi dari kita ini atau para aktivis yang juga belum tentu meneriakannya. Hari ini sudah nyata, bahwa hiburan-hiburan yang memabukan batin, bermacam raga takhayul dan nina bobo-akan membawa kepribadian kita di masa mendatang dari nurani ke syahwat.[kar]