Ini bukan ramalan tapi melamunkan
kemungkinan yang akan terjadi. Hujan
yang turun akhir-akhir ini tidak bisa didakwa oleh siapapun sebab amanatnya
memang harus turun. Dan bumi sangat memerlukan asupan elektron untuk menjaga metabolisme
kesetimbangannya, hujan berperan sebagai media untuk mengantarkan dipole-dipole
ke bumi. Untuk itu saya tidak kuasa
untuk berdoa agar Allah menghentikan hujan ini, yang saya panjatkan adalah
hanya sebatas hamba yakni minta izin untuk melewati hujan. Sebab manusia yang
mesti beradabtasi oleh hukum kausalitas Allah.
Banjir Jakarta kali ini sampai kapanpun sepenuhnya
bukan salah hujan, sebab ia mahluk Allah yang tunduk dan patuh untuk
menjalankan amanat-Nya. Kalau boleh saya jujur, setiap datangnya hujan saya
sangat bahagia sebab ia selalu menciptakan gelombang gemericik yang mampu
mengsi ruang-ruang kosong dalam relung batin. Apa yang terjadi hari ini,
merupakan cerminan dari pembangunan. Dimana pembangunan tidak selaras dengan
kata pembangunan itu sendiri. Kalau pembangunan dikelola secara manajamen
proyek dan keuntungan perut, jadinya ya bencana. Sebab yang paling utama dalam
pembangunan adalah nilai-nilai kemanusian agar pembangunan berbanding lurus
dengan adab dan peradaban.
Rakyat ini menyerahkan amanah ke para
penggede negara untuk mengamankan tiga hal yaitu mengamankan nyawa rakyat, melindungi martabat, dan melindungi harta
benda. Namun, yang terjadi hari ini adalah peristiwa-peristiwa pemerintahan
yang sangat menghina akal sehat, dan sangat menghina martabat kemanusian.
Beberapa kali saya melewati jalan yang
digenangi banjir yang cukup tinggi sekitar 50 – 80 cm, untuk kendaran motor
yang saya bawa hal ini bisa menyebabkan mesin mati. Ada banyak orang di jalan
yang memberikan informasi diluar dari kenyataan, hal ini yang membuat psikologi
pengendara motor memilih untuk balik arah. Untuk balik arah para pengendara
motor harus melewati trotoar pembatas yang cukup tinggi, kondisi seperti ini
agak sulit untuk dilakukan sendiri. Saya perhatikan memang ada banyak orang
yang mencoba membantu untuk mengangkat, tapi ternyata hal ini tidak gratis.
Awalnya saya merasa senang orang-orang di
jalan membantu para pengendara untuk mengarahkan kendaraannya ke tempat yang
aman. Tapi semuanya menjadi takhayul, ada sedikit orang tapi lumayan banyak
yang memanfaatkan kondisi ini untuk meraup keuntungan semata. Kalau uang sudah
menjadi komoditas tujuan hidup setiap orang, hal ini sudah sangat membahayakan.
Peperangan yang terjadi di dunia salah satu penyebab utamanya adalah ekonomi
yakni ingin menguasai sumber daya yang tidak dimilikinya. Peristiwa yang lumrah
seperti tolong menolong tidak dijadikan nilai tertinggi. Kini apakah harus
nyata bahwa manusia tidak lagi punya perhatian yang jujur pada keindahan,
kebaikan, dan kebenaran. Haruskah kita menipu diri dengan globalisasi, Akhirat
dijadikan dunia dan kita harus tertipu oleh yang nyatanya dunia malah kita anggap
akhirat.
Banjir yang terjadi minggu-minggu ini bisa
jadi adalah penguji bagi umat manusia. Bisakah ia dalam penderitaanya untuk
tetap setia kepada nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan kejujuran. Saya agak
kurang optimis kalau banjir tidak akan datang lagi jika kita sebagai manusia
tidak memperbaiki diri, setidaknya kita mampu melihat sebuah kejernihan untuk
menjadikan akhirat sebagai tujuan yang utama dalam hidup dan dunia hanya
sekedar lauk pauk atau asesoris. Pembangunan infrastruktur untuk mengatasi banjir
juga harus dilakukan tapi kata pembangunan itu juga harus selaras dengan
pembangunan manusia yang beradab untuk membangun peradaban. Di dunia kita
bekerja, mencari nafkah, bangun infrastruktur, itu bukan menjadi tujuan tapi
itu adalah alat untuk bertahan sebelum Allah memindahkan kita kepada tujuan
sebenarnya yaitu kematian.
Saya sangat optimis jika di dalam banjir
yang terjadi kali ini muncul sifat-sifat yang alamiah sebagai seorang manusia
yakni tolong menolong tanpa menuntut upah dari peristiwa itu. InsyaAllah
siapapun yang membuat aman dan saling mengamankan, maka Allah sangat menilai hal
itu. Bisa berupa kompensasi untuk meredakan hujan dihulu atau hal-hal yang
mungkin kita tidak mampu perhitungkan.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” Al-Qoshos : 77.
Allah sudah memberikan segala perangkat
kepada umat manusia mulai dari kebutuhan jasmani, kebutuhan intelektual,
kebutuhan lainnya. Berbuat baiklah kepada orang lain, sebagaimana Allah telah
berbuat baik kepada kita. Dan di dalam anugerah yang telah Allah berikan kepada
manusia, kita diperintahkan untuk mencari segala sesuatunya, yakni Addarul akhirah, negeri atau kehidupan
akhirat. Sangat jelas bahwa orientasi hidup yang sesungguhnya adalah
akhirat, namun juga tidak melupakan dunia.
Sedia
Payung Sebelum Hujan
Masih ingat dengan kalimat indah “Sedia
Payung sebelum Hujan”. Dari SD kata-kata ini mungkin sudah kita hafal. Saya baru
menyadari bahwa asumsi dari kalimat itu ternyata sangat merugikan bagi proses
pencerdasan bangsa dan melemahkan etos kekhalifahan. Sebab yang diasumsikan
oleh kalimat itu adalah seolah-olah hujan adalah ancaman. Payunglah yang
menjadi terapinya. Hingga akhirnya kita terdidik untuk mencari perlindungan,
santunan, nderekan, atau cantolan. Mahasiswa terdidik untuk mendapatkan upah,
bukan untuk menciptakan upah.
Apakah mungkin di dalam hidup ini
berlangsung tanpa adanya Hujan. Hujan dan kemarau tergenggam di tangan etos
kehalifahan manusia yang memimpin bumi. Hujan deras memang akan mengguyur bumi
kita. Hujan memiliki sifat yang memberangkatkan. Sebagaimana Benih diberangkatkan
menjadi kecambah. Air yang turun akan mencari biji-bijian untuk diberangkatkan
menjadi tanaman yang tangguh dan mengakar secara utuh. Tapi hari ini sekedar
untuk mencari resapan saja air tidak diberikan jalan, apalagi mencari biji-bijian.
Kita sangat gagap ketika hujan datang, sebab hanya mempsosisikan hujan sebagai
ancaman. Bukan sebagai mahluk Allah yang saling bekerja sama untuk menciptakan
kesimbangan metabolisme alam.
Diakhir saya ingin tutup dengan sebuah ayat
Al-Quran yakni surat Al-Hadid ayat 20. Semoga mampu memberikan hikmah kepada
kita semua.
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”Al-Hadid:20.