Feb 23, 2014

Masihkah Jog-Ya ?


"Salah satu penyebab hancurnya peradaban manusia adalah manusia sudah tidak bisa membedakan mana yang harus diperdagangkan dan mana yang tidak boleh diperjual-belikan"

Peristiwa agama, pendidikan, kebudayaan, kesehatan maupun silaturahim adalah wilayah-wilayah yang tidak bisa kita nilai dengan angka-angka. Ya Allah.. Betapa rendahnya kita, kalau ada yang mengatakan "berapa tarifnya kalau saya mengundang saudara". Kemudian dijawab "sekian juta rupiah per jam nya". Satu waktu kita akan bertemu dengan hipotesis ini : "bahwa ekonomi, konsumsi, industri membuat kita untuk melampiaskan, sedangkan Agama membuat kita untuk mengendalikan dan menahan"


Senin malam 03 feb '13 kemarin, saya masuk ke komplek dekat alun-alun yogya. Tujuan utamanya untuk cari masjid. Sebelum masuk pintu halaman masjid, saya agak bertanya-tanya dalam hati "loh kok toiletnya diluar dan dijaga". Karena penasaran saya coba untuk masuk dulu ke halaman masjid dan ternyata disebelah timur masjid juga ada toilet. Langsung saya menuju ke arah toilet itu. Tapi akhirnya saya diarahkan oleh seseorang ke toilet yang dijaga dan dipojok dindingnya terdapat tarif penggunaan toilet sesuai keperluannya. Kekhawatiran saya adalah jangan-jangan memang menjadi kenyataan, kalau masjid juga berlaku pasar sehingga masuk etalase-etalse perniagaan dan khusyuk melakukan jual-beli. Semoga saya salah sangka.

Kalau kita lihat tatanan keraton, pasar beringharjo, masjid gede, dan jalan-jalan di sekitar malioboro, semua letaknya memiliki falsafah yang menarik mengenai karakteristik manusia. Keraton mewakili kegiatan otoritas politik, pasar beringharjo adalah tempat manajamen nafkah penghidupan dan ubet perekonomian rakyat, spiritual rohani dan nilai-nilai diwakili oleh masjid. Dan jalan lurus malioboro adalah tempat pengembaraan atau pengelolaan posisi manusia sebagai khalifah.

Akad global kita ternyata mengarahkan keraton dan masjid masuk dalam mekanisme pasar bebas atawa pasar bebas masuk masjid dan keraton. Sehingga semua aktivitas pribadi, sosial, pengorganisasian kekuasaan dan kesejahteraan hanya dilaksanakan dengan pandangan bahwa dunia satu-satunya wadah dari segala awal dan akhir. Para pedagang hari ini tidak hanya ada dipasar, tapi juga berdagang dimana saja dan memperdagangkan apapun saja, dari gudeg sampai tanggung jawab demokrasi, dari bakpia sampai paket-paket ibadat.

Semua diarahkan pada budaya materialisme. Dengan riuh rendah budaya kita mengejar dunia. mengejar popularitas dan kemasyhuran. Seolah-olah dunia dan akhirat adalah garis lurus yang linier, berjarak dan bertentangan. Betapa takutnya kita terhadap dunia, kalau tidak mengejar uang kita beranggapan tidak akan mendapatkab uang. Mengejar uang adalah pekerjaan dunia sedangkan bekerja keras adalah pekerjaan akhirat. Orang yang mengerjakan dunia, bisa dapatkan dunia dan juga bisa tidak. Orang yang mengerjakan akhirat, insyaAllah ia dapat akhirat dan juga dapat dunia. Kampung halaman sejati adalah akhirat, dunia adalah tempat persinggahan.

Hari ini saya temukan Yogya bukan lagi JogYa. Apa yang dikisahkan seseorang pada saya hanya tinggal romantisme sejarah. Keindahan itu kini perlahan masuk dalam aquarium isme-isme. Dari luar sana mereka membangun biota-biota untuk kemudian kita dinikmati dari luar aquarium. Malioboro sekarang menjadi pariwisata, hedonisme , dan kapitalisme. Sebagian besar penyelenggaraan ekonomi kita akhirnya steril dari kemanusiaan dan hanya membangun tabung kaca yang mahal, bukan keranjang makanan yang menyediakan ransum bagi kesejahteraan umum dan keadilan sosial.

Kalau ada yang rusak, mereka adalah pihak yang rusak bukan orang yang ingin merusak dirinya. Mereka adalah korban dari kerusakan yang dilimpahkan sistem dan pemimpin-pemimpin yang tidak peduli oleh kerusakan-kerusakan yang dilahirkannya.