Feb 20, 2014

Kemba­li ke desa

"Pulangkah ke desa
Membangun esok hari
Kembali ke huma berhati"

Kalimat diatas adalah penggalan puisi presiden malioboro. Sejauh hari umbu mengingatkan untuk jangan lupakan desa. Kota boleh jadi simboln kemajuan, tapi pembangunan juga harus diorientasikan ke desa. Mahasiswa kkn bukan untuk kursusin orang desa. Sebab itu bukan esensi yang medasar. Orang sekolah harus memahami orang yang tidak sekolah. Kalau orang sekolah dan tidak sekolah saling memahami, ya lebih baik tidak usah sekolah. Jadi Orang sekolah yang kkn bukan ngajari rakyat, tapi ia harus belajar pada rakyat. Desa memang harus ditatap, digauli dengan sungguh-sungguh.


Perjalanan kemarin adalah jalan, bahasa jawanya 'mlaku'. Jalan berbeda dengan jalan-jalan (mlaku-ml­aku). Saya pikir kita semua diperjalankan untuk sampai ke gunung kidul. Menengok desa. Umbu bilang 'kembali ke huma berhati', ini adalah cermin. Kota begitu kering dan kejam, kalau berurusan di kantor di kota metropolitan, hati tak diperlukan, kecuali kita bersedia untuk dijebak dan disiasati.

Perjalanan semakin jauh ke dalam menjauhi kota. Aduh rasanya kalau melihat air wajah penduduk desa apalagi sekaliber pak tani dan bu tani saya ingin menutup muka dan kalau bisa lari dari hadapannya. Sebab saya belum berbuat apa-apa bagi kehidupan, sementara para petani punya peran sangat penting dalam hal menghadirkan kelezatan dan kenikmatan pada orang-orang di kota melalui hasil tanamnya. Semoga mereka temukan hari rayya.

Ada semacam pertanyaan dari wajah bisu para petani disepanjang jalan. Entah jawaban apa yang harus saya berikan pada wajah bisu mereka. Apa saya harus bilang "sabar bapak-ibu, anak-anakmu ini sedang berjuang, memproses, dan menentukan ke arah mana jalan perekonomian bangsa. Apakah mau ke kiri banget, ke kanan banget, ataukah yang pas dan islami. Permasalahan eknomi kita begitu makro struktural. Jadi kami mohon kearifan bapak dan ibu". Sayangnya hari ini yang menjalankan roda ekonomi tak ada tanda-tanda menyentuh wilalayah kemanusian. Meskipun yang menjalankan perekonomian adalah manusia.

Standar kaya dan miskin

Ketika malam melintasi lika-liku jalan gunung kidul, tepat sorotan cahaya mobil yang saya tumpangi jatuh pada dua orang petani (mungkin suami istri ) yang berjalan digelapnya malam tanpa cahaya. Entah sudah berapa kali atau mungkin berapa tahun mereka melakukan aktivitas seperti itu. Berjalan kaki sekian kilometer dari rumah ke ladang, pulang pergi. Namun hal seperti ini jarang dan mungkin tidak akan pernah masuk dalam headline koran. Sebab yang punya nilai jual bagi media adalah jika sekelas menteri jalan kaki sekian meter, naik sepeda dari rumah dinas ke kantor, ngepel bandara. itu pun baru dilakukannya kemarin sore. Lah saudara-saudara kita ini, sedulur-sedukur kita, atau karib-karib kita melakukan itu puluhan tahun, atau mungkin bisa sepanjang hidupnya. Baginya lapar itu boleh saja asal jangan kelaparan. Sebab rumus kesehatan dalam kehidupan dalam segala hal adalah makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang. Hari ini Standar kemiskinan yang sering digunakan sebagai acuan survei oleh lembaga-lembaga modern adalah fakta kekayaan dan kesuksesan. Padahal wilayah kemiskinan dan kesuksesan sangat luas, ada pejabat tapi orang kecil, ada tukang becak tapi orang gedhe, karena kualitas hidupnya.

Wong cilik dan wong gedhe. Untuk memahami ini kita harus pelajari dulu biji mangga dan pohon mangga. Apakah besar dan kecil harus ditimbang berdasarkan dua benda yang berbeda?. Biji mangga itu tidak jauh lebih besar dari pohon mangga yang bisa menghasilkan ratusan biji mangga. Apa yang terjadi pada pohon mangga sudah digenggam dan terkatalog semua oleh biji mangga. Sehingga biji mangga pada saat pertumbuhannya tidak akan mengingkari kodratnya untuk tumbuh menjadi pohon jeruk. Maka untuk melihat besar dan kecil kita harus bergeser dari pengamatan materil ke peristiwan lain yakni tugas dan implementasinya. Dimana pohon mangga tidak bisa menyebut dirinya paling besar dari biji mangga, sebab segala catatannya bermula dari biji mangga dan biji mangga tak bisa mengaku lebih besar dari pohon mangga sebab ia tak lebih besar dari dahan pohon mangga. Orang menjadi besar bukan karena dasar pertumbuhannya tapi seproduktif apa ia menjadi kurir mengantarkan buah kehidupan yang bermanfaat. Besar dan kecil tidak ditimbang dari dua benda yang berbeda bobotnya, melainkan ia dengan bobotnya sendiri. Dia sebagai pelaksana tugas, dan dirinya adalah kadar kesanggupannya melaksanakan tugas atau titahnya.

Perjalanan Menuju atau Kembali ?
Bangsa Indonesia lebih dulu lahir dari pada Negara Indonesia. Indonesia adalah mikrokosmos sementara desa adalah makrokosmos. Sebab yang menyangga Indonesia adalah desa-desa. Desa adalah akar yang membangun kebudayaan untuk menciptakan manusia yang dirindukan oleh peradaban. Namun hari, ini ada sebuah pergeseran bahwa desa berlaku kota, artinya meskipun orang itu tinggal di desa tapi perilaku dan gaya hidupnya berubah menjadi kota. Anak-anak petani yang sekolah di kota kemudian kembali ke desanya merasa asing untuk menghadapkan dirinya menjadi petani. Jika orang mengatakan banyak anak akan banyak mendatangkan rezeki tentu hal ini bisa kita aamin-kan , petani yang punya banyak anak akan memiliki sumber daya yang melimpah untuk mengelola pertanian. Tetapi ada semacam pengkondisian khusus yang membuat orang tidak bangga menjadi petani.

Dalam budaya kita mengenal istilah mudik yang berlangsung menjelang hari raya, hal ini menandakan ada semacam kerinduan orang-orang kota terhadap desa. Hal yang wajar jika kita bersikap cengeng pada desa karena memang desa mengakrabkan kita pada alam. Kerinduan kita terhadap desa menunjukan bahwa perjalanan bukanlah menuju melainkan perjalanan kembali. Kita bisa pakai terminologi yang difirmankan oleh Allah, yakni ilaihi raji'un yang merupakan puncak perjalanan manusia untuk kembali ke kampung halaman sejati. Kembali ke desa adalah semacam peristiwa kepulangan sementara untuk menghidupkan kembali jiwa kita, menghidupkan hidup kita. Dan Perjalanan ini adalah langkah untuk menemukan makna kembali, ilaihi raji'un, kembali kepada-Nya.