Alhadulillah
Bismillah-irrahman-irrahim
Saksikanlah, bahwa setiap orang hari ini bisa menyerang siapapun saja tanpa harus saling berhadapan. Tangannya melempar batu, tapi yang melempar ternyata bukan tangannya. Apakah ini zaman yang kita sebut sebagai Puncak dari Peradaban modern ataukah puncak zaman dari peradaban pengecut. Kita semua bisa memuat apa saja di media yang kita sebut Internet, yang buruk pun bisa kita tampilkan. Disana tak ada batas dan pertanggungjawaban terhadap siapapun, sebab tidak ada wilayah manusia. Ini kekerasan yang canggih, yaitu kekerasan yang tak tampak sebagai kekerasan, namun langsung memukul pusat jantung dan menghisap darah. Lain halnya kalau kita menyampaikan keberatan dengan saling berhadapan (ber-muwajahah), disana akan lahir cinta dan kasih sayang untuk tidak merendahkan martabat manusia. Maka jika hari ini penggunaan media informasi dan komunikasi berlangsung tanpa ada batas dan konsep aurat, artinya media informasi dan komunikasi adalah pornografi total.
Bismillah-irrahman-irrahim
Saksikanlah, bahwa setiap orang hari ini bisa menyerang siapapun saja tanpa harus saling berhadapan. Tangannya melempar batu, tapi yang melempar ternyata bukan tangannya. Apakah ini zaman yang kita sebut sebagai Puncak dari Peradaban modern ataukah puncak zaman dari peradaban pengecut. Kita semua bisa memuat apa saja di media yang kita sebut Internet, yang buruk pun bisa kita tampilkan. Disana tak ada batas dan pertanggungjawaban terhadap siapapun, sebab tidak ada wilayah manusia. Ini kekerasan yang canggih, yaitu kekerasan yang tak tampak sebagai kekerasan, namun langsung memukul pusat jantung dan menghisap darah. Lain halnya kalau kita menyampaikan keberatan dengan saling berhadapan (ber-muwajahah), disana akan lahir cinta dan kasih sayang untuk tidak merendahkan martabat manusia. Maka jika hari ini penggunaan media informasi dan komunikasi berlangsung tanpa ada batas dan konsep aurat, artinya media informasi dan komunikasi adalah pornografi total.
Tayangan Televisi Cerminan
Masyarakat
Kalau
melihat gejalanya, rasanya masyarakat kita tidak memiliki ketakutan terhadap
sesuatu yang menghancurkan nilai-nilai dalam kehidupannya. Hal itu bisa kita
saksikan dari konsumsi tayangan yang ditonton di televisi nasional, yang laku
adalah yang membuat penonton senang meskipun itu harus merendahkan martabat
manusia. Sehingga acara tv kita adalah joget, joget , dan joget. Ini bisa kita
lihat dari realitas kehidupan masyarakat. Jika ada dinamika maka pasti ada yang
kehilangan-kehilangan. Dan kemajuan akan terbukti jika dari
kehilangan-kehilangan itu akan ditemukan penggantinya. Anak-anak kecil di
kampung-kampung perkotaan jarang lagi menembang “gundul-gundul pacul...” tapi bergeser menjadi
“tutupen botolmu, tutupen oplosanmu ... “. Dikalangan anak-anak remaja pun tak
kalah ungkapan ekspresinya, rambut dicat kecoklat-cokalatan meskipun kulit
hitam legam. Kalau yang ditonton menampilkan mode pakaian yang belum pernah
dipakainya, maka supaya seseorang tidak terlihat ketinggalan zaman dengan apa
yang diinformasikan di televisi, harus ada pola ekspresi yang bentuknya adalah
material. Sehingga akan ia kenakan model pakaian yang sama persis yang ada di
televisi itu. Dan demi menunjukan gaya hidup yang tidak ketinggalan zaman, akan ia
kenakan jaket kulit tebal ditengah siang hari bolong yang gerah, sehingga fungsinya
pun bergeser bukan untuk melindungi diri dari dinginnya cuaca melainkan sebuah
identitas atau lambang bahwa ia tidak ketinggalan zaman.
Berapa
puluh atau berapa tahun lagi, Kita akan lihat pola kebudayaan masyarakat kita
yang lumrah jika cara berpakaian cukup hanya menutupi keindahan-keindahan vital
yang dimiliki manusia. Semakin banyak orang menanggalkan pakaian, semakin agung
makna kain pentutup badan. Namun semakin lebar kain penutup badan, semakin
tinggi seseorang memberikan harga pada diri kemanusiannya. Sebab pakaian adalah
akhlak yang menjadikan orang disebut manusia. Peniruan-peniruan khayalan
(verbal) yang disebutkan diatas menandakan bahwa kemajuan teknologi komunikasi
tidak disertai dengan kesiapan taraf pendidikan masyarakat. Sejauh apa
sebenarnya televisi, internet, atau teknologi komunikasi berperan benar-benar sebagai
salah satu metode komunikasi yang efektif. Dalam hal ini media informasi dan komunikasi hanya
menjadikan pengguna sebagai objek yang harus dipengaruhi meskipun itu harus
menghilangkan identitas bangsa.
Media Massa sebagai Industri
Ada
yang unik kalau menjelang bulan suci Ramadhan, saluran-saluran televisi
nasional kita akan banyak menampilkan program-program yang religius. Hal ini
akan berlangsung seharian penuh selama satu bulan penuh ramadhan. Artisnya,
presenternya, penyanyinya akan tampil memakai sarung, peci, kerudung dan
jilbab. Entah apakah ini diambil dari proses kualifikasi yang objektif dari
kehidupan sang artis ataukah itu dikarenakan momentum sehingga mereka harus
memakai itu agar laku. Sebenarnya kita juga senang kalau saudara-saudara kita
yang tampil itu memakai pakaian yang baik, tapi kenapa harus tiba-tiba dipakai
pada bulan ramadhan dan setelah itu harus ditanggalkan jika sudah habis nuansa
bulan sucinya. Kalau demikian, maka yang rugi adalah umat islam itu sendiri.
Dari
persitiwa tadi saya ingin menyampaikan bahwa dalam konsep media massa (televisi
dan koran) orientasinya adalah industri, semua diukur dari untung dan rugi. Apa
yang laku dimasyarakat, maka itu yang akan ditampilkan. Jadi tidak ada ukuran baik
atau buruk bagi penontonnya. Sebab sudah sejak lama mereka tempatkan penonton
sebagai objek, bukan subjek dari media komunikasi yang berlayar ajaib itu. Kalau
pun disebut untung itu tidak ada hubungannya dengan manusia. Dalam teori
ekonomi orang modern, wilayah manusia berada dishaf sekian-yang ada adalah
mengeksplorasi modal yang kecil agar menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya. Jika
Industri media massa menjalankan ekonomi manusia, maka disana akan ada keberadaban,
dimana kebaikan dan keindahan akan melahirkan tayangan yang relevan dan
efektif ditengah kondisi dan tingkat
masyarakat yang menontonnya. Dimana anak-anak petani tidak akan merasa malu
meskipun setelah menuntut ilmu di kota ia harus kembali mengembangkan desanya
bergaul dengan cangkul di sawah. Bukannya mencampakan orang-orang desa sehingga
menganggap bahwa kemajuan ada di kota, dan harus ke kota.
Iklan, Sihir Abad Modern
Pernah
seorang teman menyimpulkan dengan kalimat seperti ini “Iklan di Indonesia itu
lebih bagus dari pada film-filmnya”. Iklan memang harus punya daya magi bagi
pemirsanya, sebab tujuan mereka adalah untuk dagang. Jadi untuk mengiklankan
rokok mereka tidak akan menyodorkan rokoknya. Melainkan dengan membuat tayangan
yang sekian detik memiliki nuansa dan terasa hidup, sehingga apa yang
ditawarkan itu tidak terlihat pretensius. Sebuah fungsi yang subtansi akan
diterima dengan baik jika dihadirkan dengan latar atau keberadaannya. Maka
inilah sebuah keadaan pada masyarakat, dimana jika sesuatu itu ditawari dengan
cara menjejali yang terjadi adalah ia akan menjauhi. Ada metode dimana
seseorang harus terjerat tanpa ia tahu sesungguhnya sedang terjerat.
Barangkali
ini yang disebut Sihir diabad modern yang bertransformasi menjadi televisi,
internet, handphone dan segala macam bentuknya
yang menjadikan kita untuk memilih sesuatu yang sesungguhnya tidak
benar-benar dibutuhkan secara subtansial. Iklan-iklan yang ditampilkan di media
massa mempengaruhi dan menggiring penontonnya untuk ikut dalam mekanisme industri (disetir).
Penonton harus masuk dalam sebuah lingkaran setan, jika tidak maka tak akan
pernah ada pola hubungan yang meguntungkan bagi pemiliki modal. Disinilah pola
budaya konsumsi manusia bergeser dari sesuau hal yang benar-benar dibutuhkan
menjadi sesuatu hal yang seolah-olah dibutuhkan. Kita semua pasti ingat pada
sebuah peristiwa dimana Nabi Musa pernah menghadapi Fir’aun dan Ahli Sihirnya.
Dalam Surat Athaaha dikisahkan (ayat 65-69),
mereka
berkata : ”Hai Musa, apakah kamu yang melemparkan (dahulu), atau kamikah yang
mula-mula melemparkan?”.
Kemudian
Nabi Musa mengatakan :” Silahkan kamu sekalian melemparkan. Maka tiba-tiba
tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia
merayap cepat, lantaran sihir mereka. Maka Musa merasa Takut dalam hatinya.
Kami
(Allah) berkata : “janganlah kamu takut, sesungguhnya kamu yang paling unggul
(menang).
Dan
lemparkanlah apa yang ada ditangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa yang
mereka perbuat.
“Sesungguhnya
apa yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir (belaka). Dan tidak
akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang”
Konflik
antara Musa dan Fir’aun beserta ahli-ahli sihirnya bagitu sangat luas
konteksnya. Kejadian tersebut tidak hanya terbatas pada zaman kejahiliyaan fir’aun
namun juga bisa terjadi juga pasca zaman nabi Musa atau pada waktu kapapanpun.
Melihat gejala-gejala yang ada saat ini bukankah media massa (televisi,
internet, koran, dsb) juga mampu membuat tipu daya untuk menggeser kebudayaan
manusia untuk jauh dari nilai-nilai religius menuju budaya materialistik. Dalam
bidang politik, pendidikan, ekonomi semuanya hari ini berkiblat pada zaman
Yunani Kuno. Kalau elemen-elemenya tidak berdasarkan parameter yunani maka
tidak akan laku.Sekolah yang laku adalah yang dapat sertifikat. Setiap
orang untuk masuk dalam lapangan
pekerjaan hari ini akan ditagih sertifikatnya, loh bagaimana dengan sistem
Pendidikan Pesantren yang melakukan proses pendidikan yang juga menghasilkan
Insan-insan berintegritas. Dikala zaman eropa mengalami kegelapan, Indonesia
sudah lebih unggul sistem pendidikannya dengan adanya Pesantren. Kalau ditanya
siapa yang paling bertanggung-jawab atas mutu integritas individu yang hari ini
terlibat dalam kekacaaun diskala eskalasi bidang apapun di indonesia, maka
bagaimanapun pendidikan formal dianggap paling menanggung beban tanggung-jawab.
Siapakah
fir’aun pada zaman ini? Apakah ia seorang raja ataukah sebuah sistem yang
dibuat perangkat-perangakatnya menjadi siaran-siaran televisi, metode-metode
iklan, perangkat-perangkat yang membuat orang menjadi maniak terhadapnya. Dari skala
hal kekacauan yang terjadi pada umat manusia, sesungguhnya teradapat perbuatan
tipu daya. Untuk melihat tipu daya itu, mohon kita semua mendata kembali
apa-apa yang telah kita gunakan atau miliki. Apakah model pakaianmu, warna
rambutmu, jenis celanamu, benda yang menempel pada gigimu, semuanya atau segala
sesuatunya kamu pilih berdasarkan kemandirian dirimu bredasarkan kebutuhan ataukah
kesenangan dari luar sehingga kamu merasa wajib memakainya padahal ia tidak
diperlu-perlukan amat.
---
Televisi,
handphone, internet merupakan bentuk konkret dari sebuah kemajuan. Ia tidak
bisa dilepaskan dari kemajuan teknologi. Namun kemajuan tidak segampang itu,
bagi masyarakat Indonesia itu adalah sesuatu yang hadir bukan dari proses yang
mendasari mereka harus memiliki benda-benda berteknologi semacam itu, melainkan
dari lingkaran perekonomian yang mengarahkan masyarakat harus menjadi konsumen
dari teknologi modern. Sehingga kemajuan masyarakat dalam hal kreativitas dan
produktivitas tidak berkembang. Abad modern yang dialami Indonesia adalah
memakai perangkat-perangkat orang yang lebih dulu modern daripada kita. Bukan
menjadi hal yang mendasar untuk mengeksplorasi kreativitas, sikap mental, dan
displin ilmu. Kelayakan bukanlah kemampuan kita menatap benda-benda atau
kepemilikan material, melainkan menuju ke arah manusia yang dapat menentukan
batas kewajaran hidup kemanusiannya.
Jika
dituliskan akan ada banyak daftar kejahatan halus (tipu daya) yang semuanya
memakai perangkat-perangkat yang menggunakan peran satelit, medium gelombang,
dan gravitasi. Namun, saudara-saudaraku semua memiliki peranan untuk mencari
dan menemukan dalam kemandiriannya sehingga menjadi sebuah perjuangan dalam
proses pembelajaran. Kalau Allah menciptakan perangkat pada mahluk seperti
kadal, kura-kura, cicak untuk melindungi diri dari bahaya. Maka ditengah-tengah keadaan hari ini, dimana manusia harus dikepung oleh tipu daya. Martabat manusia direndahkan
dilayar-layar televisi. Tak ada ukuran atau batasan kemanusian, semua
berdalih bahwa apa yang dilakukan artisnya, penyanyinya, bintang filmnya adalah
sebagai kebebasan ekspresi dan demokrasi.
Apa yang harus dilakukan atau
dipersiapkan manusia untuk menghadapi tipu daya itu?. Ada beberapa anjuran yang
bisa kita lakukan. Pertama, Rasulullah menganjurkan kepada umatnya “makanlah
ketika lapar, dan berhenti makan sebelum kenyang”, ini merupakan rumus
kesehatan dalam segala bidang dari kesehatan sampai sejarah. Segala sesuatunya
jika dikonsumsi secara berlebihan akan mendatangkan kemubajiran, harus ada
ketepatan dalam menkonsumsi atau menggunakan perangkat teknologi. Kedua,
mempelajari kembali sesuatu yang mendasar atau bernuansa tradisional. Dizaman
ketika perdagangan masih menggunakan sistem barter, masyarakat memiliki budaya
yang kuat dalam hal gotong royong, terbangunnya rasa persaudaraan kemanusian
yang tinggi. Ketergantungan manusia terhadap alat pun masih minim. Dan perlu
juga kita ingat bahwa teknologi
informasi ditunjang oleh perangkat seperti
satelit dan peran gaya graviasi, medium gelombang, dan benda langit lannya. Berdasarkan
perkembangan astronom, ditemukan enigma pada benda langit yang akan
mempengaruhi gaya gravitisi. Jika terjadi katastrof benda langit, maka akan
menghancurkan sitem perangkat teknologi. Artinya kita jangan sampai mengalami ketergantungan. Akan ada kondisi-kondisi dimana kita harus kembali pada pola tradisional. Ketiga, Allah berfirman kepada Nabi
Musa “janganlah kamu takut, sesungguhnya
kamu yang paling unggul (menang). Dan lemparkanlah apa yang ada ditangan
kananmu, niscaya ia akan menelan apa yang mereka perbuat.” Mengenai siapa sosok Musa di abad modern, mohon siapapun untuk bermurah hati menjelaskannya. Namun, sikap yang
paling tepat ditengah ketidakpastian adalah meninggalkan segala hal yang
dibenci oleh Allah, sambil menyetorkan kebaikan-kebaikan. Menarik diri ke dalam
hati, sebab disana ada ruang yang mengembalikan diri kepada yang Maha Memiliki
Segala Kepastian.