"Dunia ini panggung sandiwara", begitulah kalimat
yang ada pada syair sebuah lagu yang dinyanyikan Ahmad Albar. Frasa ini juga
ada didalam karya Wiliam Shakesphere. Tapi aslinya tanpa panggung pun,
sandiwara tetap bisa terjadi. Dan ada benarnya juga syair tadi, panggung adalah
tempat untuk memperagakan sesuatu, mempertotonkan pertunjukan. Manusia hari ini
juga sedang asyik menampilkan dan memperagakan diri, oleh sebab itu dunia
disebut panggungnya dan perilaku orangnya disebut sandiwara. Akhirnya, banyak
perawan-peragawan di dunia ini. Dan peragawan melakukan sesuatu yang tidak
pernah terikat dengan dirinya. Misalnya, bintang iklan yang mengiklankan obat batuk.
Orang yang mengiklankan produk tersebut, ketika sakit belum tentu mengkonsumsi obat batuk
yang diklankan oleh dirinya. Jadi orang yang sedang menampilkan atau
memperagakan sesuatu belum tentu bertanggung jawab terhadap apa yang
dilakukannya.
Peragawan itu ada dimana-mana. Ada peragawan di wilayah
politik, peragawan di wilayah agama, peragawan di wilayah pendidikan, peragawan
di wilayah kebudayaan dan peragawan-peragawan lainnya. Para politisi bilang
memperjuangkan nasib rakyat, tapi nasib rakyat ndak pernah dirapatkan, uang rakyat
yang disetorkan ke negara malah dimalingi. Kalau dibilang pendidikan, ternyata
yang dibawa adalah jualan yang di taruh dalam wadah pendidikan. Kehidupan seperti
berada diatas panggung, bak peragawati yang memperagakan pakaian, tidak penting
apakah pakaian yang dipakainya adalah memang pakaian yang dipilihnya dan
dipakainya sehari-hari.
Kalau pernah melihat konser-konser. Kita pasti menyaksikan panggung-panggung
yang dibangun begitu tinggi dan berjarak dengan orang-orang yang hadir. Tak jarang
dikelilingi pagar disekitarnya, agar audiens tak mendekat ke panggung. Yang tampil
dipanggung berjarak dari akhlak untuk saling menjaga diantara manusia. Karena
saling tidak percaya, maka petugas keamanan ditugaskan menjaga keamanan,
padahal mereka yang dipanggung adalah yang paling betanggungjawab terhadap
keamanan orang-orang yang hadir. Begitulah kehidupan kita diselenggarakan, yang
ada adalah tontonan dan yang ditonton hanya memperagakan dengan menumpahkan dirinya ke dalam eksistensi.
Suatu hari di Jalan Gang Dolly, dulunya dipenuhi dengan
rumah kegelapan. Pernah digelar acara yang mungkin sekadar pengajian. Namun hal
tersebut telah merobah sisi-sisi tertentu dari budaya panggung yang selama ini
mapan dan kurang baik. Emha dan kelompok musik Kiai Kanjeng datang ke Dolly,
bukan untuk mengutuk dan menghantamnya dengan palu godam mengatakan “itu haram”,
melainkan menemani mereka agar dapat segera keluar dari jalan yang sesungguhnya
mereka pahami itu tidak baik dan benar. Emha dan Kiai Kanjeng berada dipanggung
yang rendah dan tak berjarak dengan orang-orang yang hadir, sebab yang akan
dituju adalah hati manusia, hati mereka, hati yang dikirimkan Allah untuk
disapa. Berupaya untuk mengajak mereka yang terlemah untuk merapat ke panggung,
supaya terdengar sunyi suara hatinya. Tak ada penonton dan pihak yang ditonton,
bahkan peragawan yang memperagakan nilai-nilai.