May 10, 2015

Budaya Panggung


"Dunia ini panggung sandiwara", begitulah kalimat yang ada pada syair sebuah lagu yang dinyanyikan Ahmad Albar. Frasa ini juga ada didalam karya Wiliam Shakesphere. Tapi aslinya tanpa panggung pun, sandiwara tetap bisa terjadi. Dan ada benarnya juga syair tadi, panggung adalah tempat untuk memperagakan sesuatu, mempertotonkan pertunjukan. Manusia hari ini juga sedang asyik menampilkan dan memperagakan diri, oleh sebab itu dunia disebut panggungnya dan perilaku orangnya disebut sandiwara. Akhirnya, banyak perawan-peragawan di dunia ini. Dan peragawan melakukan sesuatu yang tidak pernah terikat dengan dirinya. Misalnya, bintang iklan yang mengiklankan obat batuk. Orang yang mengiklankan produk tersebut, ketika sakit belum tentu mengkonsumsi obat batuk yang diklankan oleh dirinya. Jadi orang yang sedang menampilkan atau memperagakan sesuatu belum tentu bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya.


Peragawan itu ada dimana-mana. Ada peragawan di wilayah politik, peragawan di wilayah agama, peragawan di wilayah pendidikan, peragawan di wilayah kebudayaan dan peragawan-peragawan lainnya. Para politisi bilang memperjuangkan nasib rakyat, tapi nasib rakyat ndak pernah dirapatkan, uang rakyat yang disetorkan ke negara malah dimalingi. Kalau dibilang pendidikan, ternyata yang dibawa adalah jualan yang di taruh dalam wadah pendidikan. Kehidupan seperti berada diatas panggung, bak peragawati yang memperagakan pakaian, tidak penting apakah pakaian yang dipakainya adalah memang pakaian yang dipilihnya dan dipakainya sehari-hari.

Kalau pernah melihat konser-konser. Kita pasti menyaksikan panggung-panggung yang dibangun begitu tinggi dan berjarak dengan orang-orang yang hadir. Tak jarang dikelilingi pagar disekitarnya, agar audiens tak mendekat ke panggung. Yang tampil dipanggung berjarak dari akhlak untuk saling menjaga diantara manusia. Karena saling tidak percaya, maka petugas keamanan ditugaskan menjaga keamanan, padahal mereka yang dipanggung adalah yang paling betanggungjawab terhadap keamanan orang-orang yang hadir. Begitulah kehidupan kita diselenggarakan, yang ada adalah tontonan dan yang ditonton hanya memperagakan dengan menumpahkan dirinya ke dalam eksistensi.


Suatu hari di Jalan Gang Dolly, dulunya dipenuhi dengan rumah kegelapan. Pernah digelar acara yang mungkin sekadar pengajian. Namun hal tersebut telah merobah sisi-sisi tertentu dari budaya panggung yang selama ini mapan dan kurang baik. Emha dan kelompok musik Kiai Kanjeng datang ke Dolly, bukan untuk mengutuk dan menghantamnya dengan palu godam mengatakan “itu haram”, melainkan menemani mereka agar dapat segera keluar dari jalan yang sesungguhnya mereka pahami itu tidak baik dan benar. Emha dan Kiai Kanjeng berada dipanggung yang rendah dan tak berjarak dengan orang-orang yang hadir, sebab yang akan dituju adalah hati manusia, hati mereka, hati yang dikirimkan Allah untuk disapa. Berupaya untuk mengajak mereka yang terlemah untuk merapat ke panggung, supaya terdengar sunyi suara hatinya. Tak ada penonton dan pihak yang ditonton, bahkan peragawan yang memperagakan nilai-nilai.