May 1, 2015

Emha dan Uranium


Pada masa orde baru, Emha adalah salah satu diantara banyak tokoh yang tak pernah berhenti melakukan kritik tajam kepada pemerintahan ORBA. Ada Rendra, Taufik Ismail, dan Iwan Fals. Hampir setiap hari namanya terpampang di media cetak, baik di Koran dan Majalah. Selain melalui tulisan Emha juga menyampaikan kritiknya melalui puisi dan pementasan. Salah satunya adalah Pementasan “Pak Kanjeng”. Pementasan tersebut diilhami oleh pertemuan Emha dengan seorang tokoh yang tergusur di Kedungombo yang bernama Pak Jenggot. Pak Jenggot adalah tokoh penting yang berjuang mati-matian untuk memperjuangkan tanah dan wilayah kedungombo yang akan ditenggelamkan menjadi waduk. Perjuangan advokasi-nya untuk masyarakat Kedungombo kala itu, dianggap begitu berani sebab tak ada satupun tokoh nasional yang berani membuka pelanggaran HAM berat yang dilakukan rezim saat itu. Pementasan “Pak Kanjeng” beberapa kali pernah terjegal di Surabaya dan Yogyakarta, padahal 2000 calon penonton sudah membeli tiket. Saat itu Emha diminta merevisi naskah, tapi beliau tolak mentah-mentah. Karya lainnya yang merupakan kritik terhadap pemerintah ORBA adalah Puisi Lautan Jilbab, yang dibacakan pada saat acara “Ramadhan In Campus” jamaah Shalahudin UGM tahun 1987. Puisi Lautan Jilbab adalah puisi dadakan Emha  sebagai bentuk perlawanan terhadap pelarangan jilbab yang dlakukan pemerintah ORBA.

Sebagai seorang yang vokal terhadap Pemerintah ORBA, Emha juga harus menerima resiko seperti tokoh lainnya yang melakukan peralawanan, yakni menjadi daftar hitam rezim ORBA. Entah bagaimana cara beliau bisa lolos dari percobaan pembunuhan dan namanya tak ada didaftar buku tamu istana. Tapi setelah ORBA bergulir ke Reformasi, Emha seperti kehilangan macan. Pak Harto mulai bergerak dari “Islam Jawa” ke “Jawa Islam”, atas hal ini berdasarkan pasal Kekuasaan Global : Indonesia silahkan makmur dan sejahtera asal pemimpinnya jangan memakai Peci. ORBA runtuh,  Emha memilih berjuang dari pojok sejarah, menjauh dari segala pusat kekuasaan dan magnet popularitas, memilih membersamai rakyat yang dia perjuangkan. “Jauh lebih susah mengurusi satu orang munafik Reformasi dibanding 100 orang kafir Orba, karena karakter kemunafikan mengizinkan putih adalah merah, merah adalah hijau, hijau adalah biru, biru adalah coklat, demikian seterusnya tanpa batas" tutur Emha tentang Reformasi

Mengenai Emha dan Uranium. Ini adalah sepenggal kisah ketulusan beliau terhadap orang yang paling membencinya. Emha mencintai orang-orang yang meremehkannya, bahkan terhadap orang yang jelas-jelas membunuh beliau. Pada tahun 2002-an, setelah melakukan CT Scan di rumah sakti Sardjito UGM,  secara medis diperkirakan umur Emha tinggal 3,5 bulan.  Berat badan beliau turun lebih dari 20 Kg dan tremor. Setiap makanan yang masuk sudah tidak mungkin lagi diolah oleh tubuh dan membuat tubuhnya memakan lemak dirinya sendiri. Ketika sampel feses Emha diambil oleh sahabatnya dan dimasukan dalam tabung yang tebal dan rapat, ditengah perjalanan tabung itu meledak. Esok paginya dibawa ke Laboratorium Kimia UGM. Kemudian dilakukan pengujian terhadap sampel, pada suhu 1300 derajat celcius baru bisa terurai. Berdasarkan hasil pengujian terdapat kandungan : besi, uranium, dan zat-zat peledak lain. Hal tersebut yang menghancurkan teroidnya dan yang menyebabkan makanan tak dapat diolah.  Dan mestinya Emha sudah tergeletak, tapi beliau menganggap dirinya tak sakit. Tetap ulang-alik melakukan perjalanan.

Berdasarkan hasil test darah. Dokter begitu terkejut terhadap hasilnya, sebab darah beliau seperti darah yang ada pada orang lumpuh. Dokter yang menangani tak sanggup melakukan upaya pengobatan, akhirnya Emha berhenti ke dokter. Hanya Allah yang menhidupkan. Agar sel-sel nya mengalami regenerasi, Emha melakukannya dengan cara diam, masuk ke dalam air dan bersila supaya tidak bernafas. Seminggu kemudian, Allah takdirkan Emha sembuh total.

Emha memang bukan seorang presiden, yang setiap makanan yang akan dimakan harus diperiksa dulu, apakah mengandung racun atau tidak?. Jadi diberbagai kesempatan orang bisa sangat mudah melakukan keisengan terhadap makanan yang akan dimakannya. Atas kejadian itu Emha mengetahui siapa yang membuat, berapa biayanya dan paham apa kepentingannya. Tapi tak sedikitpun ia menyimpan dendam, bahkan dengan hati yang sangat ringan beliau memaafkan semua orang yang membenci dan menganiaya beliau. “Kalau ada orang yang menyakitimu, jangan sampai orang itu mengetahui bahwa kamu tahu dia sedang menyakitimu” –Emha