Pada masa orde baru, Emha adalah salah satu diantara banyak
tokoh yang tak pernah berhenti melakukan kritik tajam kepada pemerintahan ORBA.
Ada Rendra, Taufik Ismail, dan Iwan Fals. Hampir setiap hari namanya terpampang
di media cetak, baik di Koran dan Majalah. Selain melalui tulisan Emha juga
menyampaikan kritiknya melalui puisi dan pementasan. Salah satunya adalah Pementasan
“Pak Kanjeng”. Pementasan tersebut diilhami oleh pertemuan Emha dengan seorang
tokoh yang tergusur di Kedungombo yang bernama Pak Jenggot. Pak Jenggot adalah
tokoh penting yang berjuang mati-matian untuk memperjuangkan tanah dan wilayah
kedungombo yang akan ditenggelamkan menjadi waduk. Perjuangan advokasi-nya
untuk masyarakat Kedungombo kala itu, dianggap begitu berani sebab tak ada
satupun tokoh nasional yang berani membuka pelanggaran HAM berat yang dilakukan
rezim saat itu. Pementasan “Pak Kanjeng” beberapa kali pernah terjegal di
Surabaya dan Yogyakarta, padahal 2000 calon penonton sudah membeli tiket. Saat itu
Emha diminta merevisi naskah, tapi beliau tolak mentah-mentah. Karya lainnya
yang merupakan kritik terhadap pemerintah ORBA adalah Puisi Lautan Jilbab, yang
dibacakan pada saat acara “Ramadhan In Campus” jamaah Shalahudin UGM tahun
1987. Puisi Lautan Jilbab adalah puisi dadakan Emha sebagai bentuk perlawanan
terhadap pelarangan jilbab yang dlakukan pemerintah ORBA.
Sebagai seorang yang vokal terhadap Pemerintah ORBA, Emha
juga harus menerima resiko seperti tokoh lainnya yang melakukan peralawanan,
yakni menjadi daftar hitam rezim ORBA. Entah bagaimana cara beliau bisa lolos
dari percobaan pembunuhan dan namanya tak ada didaftar buku tamu istana. Tapi
setelah ORBA bergulir ke Reformasi, Emha seperti kehilangan macan. Pak Harto
mulai bergerak dari “Islam Jawa” ke “Jawa Islam”, atas hal ini berdasarkan
pasal Kekuasaan Global : Indonesia silahkan makmur dan sejahtera asal
pemimpinnya jangan memakai Peci. ORBA runtuh, Emha memilih berjuang dari pojok sejarah,
menjauh dari segala pusat kekuasaan dan magnet popularitas, memilih membersamai
rakyat yang dia perjuangkan. “Jauh lebih susah mengurusi satu orang munafik
Reformasi dibanding 100 orang kafir Orba, karena karakter kemunafikan
mengizinkan putih adalah merah, merah adalah hijau, hijau adalah biru, biru
adalah coklat, demikian seterusnya tanpa batas" tutur Emha tentang
Reformasi
Mengenai Emha dan Uranium. Ini adalah sepenggal kisah
ketulusan beliau terhadap orang yang paling membencinya. Emha mencintai
orang-orang yang meremehkannya, bahkan terhadap orang yang jelas-jelas membunuh
beliau. Pada tahun 2002-an, setelah melakukan CT Scan di rumah sakti Sardjito
UGM, secara medis diperkirakan umur Emha
tinggal 3,5 bulan. Berat badan beliau
turun lebih dari 20 Kg dan tremor. Setiap makanan yang masuk sudah tidak mungkin
lagi diolah oleh tubuh dan membuat tubuhnya memakan lemak dirinya sendiri. Ketika
sampel feses Emha diambil oleh sahabatnya dan dimasukan dalam tabung yang tebal
dan rapat, ditengah perjalanan tabung itu meledak. Esok paginya dibawa ke
Laboratorium Kimia UGM. Kemudian dilakukan pengujian terhadap sampel, pada suhu
1300 derajat celcius baru bisa terurai. Berdasarkan hasil pengujian terdapat
kandungan : besi, uranium, dan zat-zat peledak lain. Hal tersebut yang
menghancurkan teroidnya dan yang menyebabkan makanan tak dapat diolah. Dan mestinya Emha sudah tergeletak, tapi
beliau menganggap dirinya tak sakit. Tetap ulang-alik melakukan perjalanan.
Berdasarkan hasil test darah. Dokter begitu terkejut
terhadap hasilnya, sebab darah beliau seperti darah yang ada pada orang lumpuh.
Dokter yang menangani tak sanggup melakukan upaya pengobatan, akhirnya Emha
berhenti ke dokter. Hanya Allah yang menhidupkan. Agar sel-sel nya mengalami regenerasi, Emha melakukannya
dengan cara diam, masuk ke dalam air dan bersila supaya tidak bernafas. Seminggu
kemudian, Allah takdirkan Emha sembuh total.
Emha memang bukan seorang presiden, yang setiap makanan yang
akan dimakan harus diperiksa dulu, apakah mengandung racun atau tidak?. Jadi diberbagai
kesempatan orang bisa sangat mudah melakukan keisengan terhadap makanan yang
akan dimakannya. Atas kejadian itu Emha mengetahui siapa yang membuat, berapa
biayanya dan paham apa kepentingannya. Tapi tak sedikitpun ia menyimpan dendam,
bahkan dengan hati yang sangat ringan beliau memaafkan semua orang yang
membenci dan menganiaya beliau. “Kalau ada orang yang menyakitimu, jangan
sampai orang itu mengetahui bahwa kamu tahu dia sedang menyakitimu” –Emha