Jul 22, 2015

Kembali Berbuka, Kembali Berpuasa

Bismillah-irrahman-irrahim

Melakukan kesalahan begitu sangat mudah. Metodenya bisa sangat canggih, tanpa mesti saling berhadapan satu dengan yang lainnya, tapi langsung memukul pusat jantung dan menghisap darah. Sementara meminta maaf adalah perjuangan yang harus lahir dari kedalaman dan kejernihan hati, Ia harus memiliki posisi untuk mengakui secara jujur dan menyadari betul kesalahan yang dilakukannya,  sedangkan psikologis manusia cenderung untuk mempertahankan dirinya. Tidak semua pendosa mampu menaklukan gengsi.

Di ujung ramadhan, ada pertanyaan yang terus-menerus hadir: kita ini sudah menempuh Ramadhan dan Idul Fitri berapa kali? Dengan puasa dan idul fitri sejauh apa metode itu berperan dalam skala kehidupan yang luas?. Ada hal yang sangat mengkhawatirkan, bisa jadi saya ini sekedar menjalani ritus kultural sebagaimana orang-orang melakukannya, yakni bersalam-salaman atau menyelenggarakan mekanisme lain sambil bilang “mohon maaf …”. Dan yang saya takutkan adalah kita masih menyimpan “ruang gelap” di dalam hati, hingga akhirnya kita tidak bersungguh-sungguh memohon maaf dan memberikan permaafan. Untuk kemudian kita mengulangi kembali, kesalahan-kesalahan yang menciptakan dosa struktural, saling-silang, dan bertalian. Sedangkan hidup kita begitu luas, ada banyak garis yang saling bersentuhan antar manusia dan mahluk hidup lainnya. Satu sampah yang saya buang di saluran air, probabilitas kejadiannya bisa sangat menyusahkan warga satu kelurahan ketika banjir datang. 

Sebab itu, permohonan maaf  bukanlah peristiwa remeh. Metodenya tidak bisa segampang kita menyebarkan informasi melalui fasilitas broadcast whatsapp, bbm, atau sms massal. Bahkan Rasulullah menyampaikan sendiri dihadapan para sahabat : “Siapa yang pernah teraniaya olehku, hendaklah sekarang juga melakukan qisas kepadaku. Aku tak ingin dipermalukan jika aku menghadap Allah di akhirat”. Demikian indahnya akhlak Rasulullah. Sementara kita menggeser sikap ksatria itu, semudah kita "melempar batu". Kalau seandainya pun tak ada cara lain selain dengan kemudahan teknologi, dan jika kesalahan kita adalah sebuah tindakan aniaya yang fatal, minimal kita sampaikan itu secara private dan tak menyebarnya secara liar, sebab bisa jadi itu sekedar "gombalan".

Saya mengurai ini dengan maksud untuk belajar menemukan kembali dan menyicil landasan-landasan untuk hal-hal yang memang diperlukan landasannya. Kalau saya menjalani puasa karena saya meniru kebanyakan orang yang melakukannya pada saat bulan ramadhan atau saya ikut-ikut orang melakukan permintaan maaf, sementara saya tak memahami atas dasar apa saya melakukan itu, maka posisi saya melakukan itu adalah posisi manusia pra-Islam.  Semoga ketika Rasulullah menoleh dan menatap, ada kesanggupan hati, nalar, dan jiwa yang juga ikut terpanggil.

***

Hari-hari selanjutnya, sesudah Idul Fitri,  kita perlu mengukur dan menata kembali kekuatan kita. Mumpung telah terbangun kembali rasa sosial kita melebihi konsep komunitas ataupun society, yakni kita membangun kesadaran ummah. Begitu asyiknya bukan, ada banyak kalangan diantara kita baik muda maupun tua tergerak hatinya membantu memudahkan kaum papah supaya bisa melaksanakan sahur atau meningkatnya jumlah kunjungan ke tempat anak-anak yatim-piatu untuk berbagi kegembiraan. Saya berprasangka baik, itu semua dilakukan atas landasan karena Allah. Begitulah konsep ummat, bahwa segala seuatunya dilakukan karena derajat manusia dihadapan Allah adalah berdasarkan tingkat ketaqwaannya, sementara diantara manusia tidak ada kelas-kelas. Singkatnya, kita ini hampir habis-habisan masuk dan basah dalam pasar riba, terutama dalam kehidupan bangsa dan bernegara kita. Dan saya ingat nasihat seseorang :"Dengan riba, akan membuat hari esok menjadi lebih buruk". Bisa kita saksikan, membayar dana pinjaman alias hutang negeri ini, selain hutang pokok yang harus dibayar kita juga sibuk dengan harus membayar bunga dari pinjaman tersebut. Akibat riba (riba bukan hanya tentang bunga, tapi juga proses yang mengandung eksploitasi, parasitisme, dll) bisa sangat berkepanjangan, kita akan terus disibukkan hanya untuk mencari uang dan uang. Semua cara ditempuh, meskipun harus merusak alam. Hidup kita jadi hanya sekedar hidup, padahal maksud Allah menciptakan manusia adalah untuk beribadah. Apakah kesadaran ummat ini juga masih berlaku sesudah ramadhan, ditengah ketidakberdayaan kita menghadapi tipu daya global, atau itu hanya semacam alat politik?
"Kita masuki pasar riba
Menjual diri dan Tuhan
Untuk membeli hidup yang picisan
Telanjur jadi uang recehan
Dari putaran riba politik dan ekonomi
Sistem yang membunuh sebelum mati"
 (Emha Ainun Nadjib, 1987)
Saat Rasulullah memasuki Madinah, beliau tak mendapati air kecuali air dari sumur rumah. Namun, sumur tersebut dikuasai oleh Yahudi dan tak diizinkan seorang-pun mengambil air itu, kecuali dengan membelinya. Setelah Rasulullah memberi penawaran khusus bagi siapa saja yang dapat membeli sumur itu dari orang Yahudi, maka melalui negoisasi yang susah payah, sumur itu dapat dibeli oleh Ustman bin Affan. Dengan kontrak kesepakatan : sehari untuk Ustman  dan sehari berikutnya untuk Yahudi, demikian setetusnya. 

Ustman kemudian bikin program. Ketika hak sumur itu adalah giliran Ustman, maka air sumur itu diinfaqkan kepada kaum muslimin Madinah. Kaum muslimin diminta memenuhi persedian air untuk dua hari kedepan. Melalui skema program tersebut, orang Yahudi kehilangan pasarnya dan sumur itu akhirnya dijual ke Ustman sepenuhnya. Sumur Ustman di-waqaf-kan untuk kepentingan ummat, dan yang gratis kembali menjadi gratis. 

Indonesia hari ini tengah ditimpa konspirasi tipu daya global. Banyak "sumur-sumur air" Indonesia dimonopoli dan dikuasai individu maupun sekelompok orang bukan untuk kepentingan ummat melainkan untuk dieksploitasi demi laba yang meskipun harus merusak alam, menghancurkan akhlak, dan merendahkan martabat manusia. Lantas apa yang mesti dilakukan terhadap "sumur-sumur air" yang dikelola untuk mendukung sistem riba itu?.  

Peristiwa sesungguhnya sangat jelas, tapi kebanyakan kita yang berada dalam kendali sistem riba dibuat tak sadar tengah menjalankan sistem tersebut. Kita tak menyadari, bahwa kesibukan yang kita jalankan hanya untuk mengejar sesuatu yang tak bisa dibawa dalam kematian, sedangkan yang sejati adalah yang bisa dibawa dalam kematian. Di dalam Ramadhan, kita dibina melalui ibadah puasa agar sanggup mepanglimai diri sendiri dan menjalani pilihan-pilihan berdasarkan pandangan Allah. Kemenangan personal itu belum selesai, sebab setelah memasuki Idul Fitri (kembali berbuka), kita tetap akan bergelut untuk menghadapi realitas struktural, pasar, maupun pola tatatan kolektif yang semuanya itu sering tidak sejalan dengan kesejatian dan kebenaran yang telah kita temui selama puasa dan sesudah shalat. Maka kemenangan itu tidak selesai pada kemenangan personal, tapi juga harus diwujudkan dalam kemenagan ummat agar terlepas dari belenggu realitas struktural dan pasar ribawi. 

Sesudah Idul fitri, ketika berada dipuncak kemenangan, jangan kita habiskan dengan kegembiraan dan pesta pora, sebab sesudahnya Rasulullah menganjurkan kita untuk puasa syawal. Setelah kembali berbuka (idul fitri), kita kembali berpuasa untuk tetap menahan dan mengendalikan ditengah kebiasaan melampiaskan dan menumpahkan. Sesudah perang badar, Rasulullah pernah diejek saat memasuki pasar Bani Qainuqa : "Wahai Muhammad, jangan tertipu dengan kemenanganmu, karena itu (perang Badar) lawan orang yang tidak berengalaman dalam perang, maka kamu bisa unggul karenanya. Tetapi demi Tuhan, bila kami berperang dengan engkau maka engkau akan tahu bahwa kamilah yang perlu engkau takuti”.  Sistem Yahudi yang dipakai dalam pasar tersebut, membuat martabat dan harga diri kaum muslimin direndahkan dan dilecehkan. Atas peristiwa itu, Rasulullah menyiapkan dan membangun pasar kaum muslimin, yang kemudian mampu membebaskan dan mengunggulkan orang-orang Arab di Madinah dari belenggu praktik ekonomi ribawi Yahudi.

Jadi, hari raya Idul Fitri ini hanya berlaku sebagai penanda bergantinya Ramadhan memasuki Syawal atau kita pakai juga hikmah puasa dan Idul Fitri itu untuk melaksanakan perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat dengan mengikuti strategi Rasulullah untuk terbebas dari belenggu tipu daya riba ketika di Madinah. 

Sudah waktunya membangun serambi Madinah, sesudah mendirikan serambi Mekah.

Subang, 5 Syawal 1436
Karyadi