Nov 30, 2009

PERJALANAN (III): Ijazah tidak lebih dari sehelai kertas



Ijazah tidak lebih dari sehelai kertas
Begitu lama saya menungu, waktu sudah menunjukan pukul 08.00, segera saya bangunkan Fadil. Fadil langsung pergi ke kamar mandi untuk mandi dan mengganti pakaian. Setelah itu kami langsung meninggalkan masjid. ketika saya ikut beasiswa itb untuk semua (BIUS) saya ingat kalau gedung rektor ITB tidak jauh dari jembatan layang yang kami lalui. Kemudian Fadil bertanya pada pejalan kaki, dengan tutur kata yang ramah dan sopan pejalan kaki itu memberikan pentujuk jalan ke ITB. Kami pun mengikuti dan melaksanakan petunjuk beliau. 15 menit kami berjalan, dari jauh saya melihat gedung rektor ITB. Perjalanan, kami arahkan ke gedung rektor. Dari gedung rektor ini saya baru mengingat jalan menuju kampus ITB. Setelah melihat gedung rektor, perjalanan kami lanjutkan ke kampus ITB, jarak dari rektor ITB ke kampus ITB lumayan jauh +/- 3 Km.

Akhirnya perjalanan kami tiba di kampus ITB. Selama di perjalanan saya mengenang kembali perjuangan saya dan teman-teman peserta BIUS ketika ingin mengikuti USM-ITB terpusat. Ketika itu bus dan truk TNI yang kami tumpangi terjebak kemacetan tepat di depan Retor ITB, karena takut telat peserta BIUS segera memutuskan untuk turun dari Bus dan truk, dan melanjutkan perjalanan menuju tempat USM dengan jalan kaki. Ka Imam dosen kalkulus ITB dan Ka Agung Rb mendampingi kami dalam perjalanan dan menjadi petunjuk dalam perjalanan kami. Langkah peserta BIUS yang pasti membuat semangat ini terus berkobar-kobar sembari mengingat salam ganesha yang memberikan semangat dan inspirasi buat saya.

Selain mengingat perjuangan peserta BIUS, ada hal lain yang mengingatkan saya saat melihat gedung ITB. Gedung ITB menurut hemat saya dibagi menjadi tiga bagian , yaitu bagian pertama adalah bagian gedung lama yang terbuat dari kayu dan beratapkan anyaman ijuk, kemudian yang kedua adalah gedung pada masa transisi, dan yang ketiga adalah gedung pada masa modern. Gedung lama mengingatkan saya pada Presiden RI yang pertama yaitu Soekarno, ketika menjadi mahasiswa di THS (Technische Hoogeschool yang menjadi cikal-bakal Institut Teknologi Bandung).

Pada 26 Mei 1926, Soekarno diwisuda. Selain Soekarno ada tiga mahasiswa bumiputera lainnya yang hari itu ikut diwisuda. Ketika giliran maju ke depan untuk menerima ijazah sebagai insinyur, Soekarno berhadapan dengan Profesor Koppler, Rektor magnificus THS. Sang profesor menyalami Soekarno muda sambil berkata dengan setengah berbisik: “Soerkarno, enn diploma is enn vergangkelijk stuk papier. Het is niet onsterfelijk!. Bedenk dat alleen het karakter vanenn mens eeuwig is. De herimnering daaran duurt voort, lang nadat hij is gestorven.” Prof. Kloeper menasehati bahwa ijazah adalah ijazah (ketika itu lazim disebut “bul”). Dia tak lebih sehelai kertas yang bisa jadi tak banyak menolong. Seseorang, kata sang rektor, seseorang dikenang bukan karena ijazahnya, tetapi karena karakternya. Seseorang berhasil atau tidak akan ditentukan oleh kemampuannya menaklukkan ketakutan dan memaksimalkan semua “modal” yang dimiliki. Ijazah hanya salah satu dari sekian banyak ”modal” lain yang mesti dikuasai.