Sep 19, 2010

Memandangi Asal-Usul Diri Dihari Perilaku

Langit tetap setia memayungi hujan yang terus beruntut turun dan sejenak istirahat sedari pagi sampai senja datang. Sebelum senja benar datang saya berjalan menuju makam tempat peristirahatan terakhir ibunda tercinta. Jalan sepanjang 4 Km saya tempuh dengan mengawali langkah pertama dan dilanjutkan dengan langkah berikutnya. Di jalan saya mengenang kembali kisah bersama ibu saya. Kenangan yang terlintas membuat air mata menetes setitik, tapi sekuat tenaga saya tahan untuk masuk ke dalam jiwa.

Hari ini adalah hari perilaku yang saya peringati karena hidup adalah perilaku. Begitu banyak keagungan Allah yang membuat saya belajar untuk menghadapi hidup. Untuk itu bagi siapapun yang mungkin menginginkan darah dan kematian saya untuk melepas dahagamu, untuk menegakkan hidupmu dan jika memang tidak suka saya mencintaimu, ambilah, ambilah!!. Akan saya pintakan izin kepada Allah yang memilikinya, karena toh bukan diri saya ini yang saya inginkan.

Sampailah saya di makam ibu saya. Terlihat bunga melati jatuh berserakan di atas tempat jasad ibu saya terkubur. Saya bersihkan rumput yang ada diatas pusara. Kemudian saya tafakur dan dalam batin saya berdialog entah dengan siapa, yang jelas saya meyakini Allah mendengarkan-Nya.

Ditempat saya berdiri

Jalan setapak yang saya lewati mengingatkanku pada koridor rumah sakit. Putih dan dingin.

Melati berserakan adalah penghibur pada setiap dukaku. Ke tepi terjauh manakah kesedihan harus saya bawa pergi jika tubuh saya kesedihan tak bertepi.

Saya ingat wajah dan senyum terakhirmu dari ingatan saya yang murung.

Selang infus, tabung oksigen, bau apotek pada sarung bantal dan ranjang besi membangun rumah kegelapan dalam hati saya.

Rasa khawatir itu kini menjadi kenyataan. Doaku telah dijawab dengan kenyataan yang harus saya terima dengan senyuman dan saya terus berusaha menipu sekeliling untuk tetap tegar.

Waktu berhenti di ujung nisan kayu. Senja mulai pergi bersama matahari. Dan samar rembulan mulai muncul menemani tidurmu yang panjang yang tidak dapat saya bangunkan.
Senja itu, ibu, masa lalu airmatamu.

Tidak ada ritual khusus yang saya lakukan kecuali saya panjatkan doa untuk ibu seperti kebiasaan saya pada habis sujud sembahyang karena saya telah berjanji akan saya kirimkan doa yang pernah ibu ajarkan kepada saya. Biarlah saya tafakur bila rindu kepadamu. Selesai sudah tafakur di hari perilaku, rukuk Lam badanku memandang asal-usul diri.