Dec 14, 2013

Bukan Surat Fiksi

Bismillah-irrahman-irrahim

Saudaraku semua. Saya ingin minta izin kepada semuanya, untuk di-non-aktif-kan menjadi apapun saja yang bukan kandungan primer. Sebab hari ini yang primer bukan menjadi manusia, melainkan menjadi bupati, menteri, presiden, direktur, lurah, polisi, instrument, alat ukur, robot. Sementara manusia terpojok dan sunyi, karena ketelingsut dibalik baju yang dibesarkannya, hingga ia bergeser menjadi sekunder.


Waktu suruf tadi tiba-tiba saja saya dihardik oleh seseorang yang muncul mendadak.
“Kamu lupa ya, bahwa kamu itu tidak penting. Yakni Ketika kamu berada dalam ekstase kesunyian cintamu yang utuh kepada Allah. Kamu ini bukan apa-apa.”

“lah apakah anda ini apa-apa?”saya balik bertanya.

“kamu saja tidak penting, apa lagi saya mas. ingat bahwa kamu itu tidak bisa menciptakan sehelai rambut, mengatur alis untuk berhenti tumbuh pada sekian mili meter. Jadi, kenapa kamu merasa penting dengan meng-omoditasi-kan pentingnya kamu dihadapan sahabat-sahabatmu”

Dihadapannya saya tidak bisa melakukan pembelaan apa-apa. Ia terus saja menghardik saya.

“Saya ini dulu pernah menjadi bos besar, memiliki jabatan setingkat menteri. Dan ketika saya tidak lagi menjadi bos besar, saya merasa kehilangan diri saya sendiri. Usia saya yang terus-menerus lanjut, memberikan pemahaman bahwa sesungguhnya saya bukan bos besar dan bukan pemimpin. Dan ketika orang-orang mengangkat keranda jenazah saya menuju ke liang lahat yang lubangnya sangat sempit dibandingkan dengan imajinasi saya tentang kebesaran hidup, barulah saya sungguh-sungguh paham bahwa yang dikuburkan ini bukan pemimpin, bukan bos besar, bukan menteri. Yang dulu mereka mengangkat, menggali, menjunjung-junjung saya sebagai bos besar, sebagai pemimpin, sebagai menteri. Ternyata saya bukan bos besar, bukan menteri, sebab yang dimaksud bos besar itu hanyalah baju, yang bernama menteri hanyalah nama dan tugas saya.”

“Dihadapan Allah, bajuku yang disebut status sosial itu tanggal, saya bukan lagi bos besar, bukan menteri, dan juga bukan pejabat. Ternyata tidak perlu menunggu maut untuk menanggalkannya, tidak perlu menunggu orang lain untuk mendemisioner jabatan saya secara paksa. Sebelum dan sesudah melekat dibadan, baju itu sudah tanggal. Dimanakah tempat yang tak bisa menanggalkan baju itu? Bukankah tidak ada sejengkal pun alam semesta yang bukan ciptaan-Nya”

Kemunculannya yang mendadak ternyata juga diiringi dengan kepergiannya yang sekejap menghilang. Kalimat terakhir yang disampaikannya adalah “janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi”. Rasanya sangat tidak kontras dengan apa yang disampaikannya tadi. Atau jangan-jangan ini berhubugan dengan pembacaan puisi yang saya lakukan kemarin pada jumat 6 hari yang lalu.

Saudaraku ini bukan surat fiksi melainkan kewaspadaan pada pengetahuan dan masa depan, yang fiksi adalah ketika kita mengira bahwa hidup hanya berhenti pada mati. Sebab hari ini kita mati-matian menjadi hal yang tidak bisa dibawa mati. Padahal yang pasti adalah kematian.

Demikian semoga keihklasan berbuat yang telah kita lakukan menjadi benih untuk perbuatan-perbuatan baik selanjutnya disegala bidang baik dalam karakter ruang diatas waktu ataupun karakter waktu diatas ruang. walaa tajassasuu

Sebentar lagi..
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Seorang Makmum

Masjid Attaqwa
Selepas Magrib
12 Des 2013