Sejak
SD saya sudah diberitahu, bahwa putih dalam filosofi warna Sang saka bendera merah-putih memiliki arti kesucian.
Merah artiny keberanian, Hijau artinya kesejahteraan, dan Hitam artinya kegelapan,
kelegaman. Berarti Golput (golongan putih) adalah kecenderungan untuk suci
dalam kebenaran, sejati dalam keindahan dan kesejatian, murni dalam kebaikan.
Tiba-tiba
hari ini saya dihadapkan oleh pengkhianatan makna “Jangan GOLPUT”. Entah
didukuni oleh siapa sehingga Golput lahir dari kosmos filosofis yang keliru. Warna
putih dipakai untuk mewakili tindakan yang dalam bernegara seperti pemilu
disebut imoral, egoistik, tindakan yang membangkang. Dalam tataran filosofis
dan epistemologi kita sudah berbuat munafik terhadap makna. Apakah ini juga mencerminkan
perilaku kehidupan perpolitikan pada tataran yang konkret.
Semestinya
pelaku-pelaku yang mendukuni canggihnya kemunafikan itulah yang tepat disebut
GOLHIT. Dan memang hanya golhitlah yang tidak berkenan terhadap golput. Untung saya
bukan golongan, apalagi golput. Saya akan perkenankan tiga pihak yang
mengetahui apakah saya akan memilih atau tidak memilih menjadi golput, golhit,
golhij, golpar, atau golbungkus. Pertama,
Allah yang memiliki penglihatan melebih kelembutan cahaya. Kedua malaikat yang
ditugasi melakukan sensus. Ketiga, diri saya sendiri. Dan jika nanti ada yang
mengintip dari golongan jin dan iblis saya sudah pasrahkan kepada malaikat yang
menangani kasus semacam itu.