Bismillah-irrahman-irrahim
Saya tulis ini
untuk melengkapi kekurangan saya kemarin ketika diminta untuk menjadi
fasilitator mengenai reformasi 1998. Dari apa yang pernah saya pelajari bahwa
peristiwa 1998 memang memiliki cita-cita yang sangat mulia. Peristiwa mei 1998 adalah
tiitk kulminasi dari semua rentetan peristiwa-peristiwa. Pemerintah ketika itu
berntindak represif dan ditaktor. Dan ketika gelapnya zaman saat itu mampu membakar
semangat nasionalisme semua elemen dan wajar banyak dari mereka yang masih
idealis sehingga disebut pejuang.
Ada tiga hal
yang mendorong kekuatan peristiwa Reformasi 1998. Pertama, Pemerintah sebagai penyelenggara negara gagal mengelola kekayaan alam nusantara untuk kepentingan rakyat, yang terjadi adalah memenuhi lumbung-lumbung kekayaan para penguasa. Kedua, Pemerintah tidak mampu memberikan rasa aman bagi rakyatnya. Ketiga, Pemerintah tidak menjaga martabat manusia. Ketiga hal itulah yang menyatukan kekuatan semua elemen untuk melahirkan reformasi.
Pohon licin yang
berhasil dipanjat saat reformasi memang membuahkan hasil dimana Soeharto
bersedia untuk melepaskan jabatannya sebagai presiden. Namun, apakah sampai
disini cita-cita reformasi. Perlu diketahui turunnya Soeharto kala itu bukan
hanya karena tekanan dari mahasiswa. Soeharto ketika itu khawatir dengan peristiwa penjarahan yang
dilakukan ramai-ramai oleh rakyat, sebab hal itu menandakan batal
kepemimpinannya dan gagalnya ia jadi kepala Negara. Hari ini reformasi bisa
dibilang hanya menggantikan aktor lama dengan aktor yang baru dengan jumlah
yang tidak hanya satu tapi berjamaah.
Hal yang
menjijikan saat peralihan kekuasaan dari Soeharto ke Habibie adalah ada sejumlah tokoh yang
juga turut menggodok reformasi melakukan lobi ke Habibie untuk menjadi
menteri. Bahkan ada yang mengatakan “Kalau jadi menteri pada pemerintahan
Habibie yang hanya menjabat selama 5 bulan apa juga dapat uang pensiun”.
Pasca Reformasi
Ketika masa
sebelum reformasi Presiden Soeharto atau Raja Besar dilawan oleh ribuan pasukan mahasiswa,
tapi pasca setelah reformasi Presiden hanya dilawan oleh ratusan orang, bahkan
cukup beberapa puluh mahasiswa. Dimana martabat kepemimpinan ketika sudah
menjadi Pemimpin negara tapi mau juga menjadi pemimpin partai. Reformasi yang
melahirkan kebebasan ternyata membuat kemunduran mahasiswa baik integritas
intelektual dan moral. Kejenuhan modernisme mejauhkan gerakan intelektual
mahasiswa dari dimensi spiritualistik-etik. Dalam arti gerakan mahasiswa
dijauhi dari hakikat kehidupan dan budaya intelektual mahasiswa masuk dalam
bingkai kapitalistik serta telah meremukredamkan nilai-nilai kemanusian.
Mahasiswa yang
ideal adalah tidak akan pernah menganggap bahwa rakyat adalah yang kosong
pikirannya dan tidak mengetahui apa-apa. Justru rakyatlah yang hidup sangat
pancasilais. Semestinya perjuangan mahasiswa yang ideal adalah tidak menggurui
apalagi menipu rakyatnya. Kalau pemikiran inteletual mahasiswa terjebak dalam
industrialisasi pemikiran, yakni menafsirkan fakta berdasarkan dengan pesanan
maka hal ini akan menjadi ancaman bagi gerakan intelektual mahasiswa.
Tiga tingkat Kesadaran
Kalau dulu Patih
Gajah Mada memiliki sebuah perisai seperti Baja yang tidak bisa terlihat oleh
kasat mata atau semacam ilmu yang jika ada anak panah yang diarahkan kepadanya tidak
bisa terluka tubuhnya. Masyarakat umum menyebutnya dengan ilmu kebal. Diam-diam
orang sekolahan ingin menguasai ilmu ini. Kalau rakyat memang sudah kebal. Dimana
tubuh atau metabolismenya sudah kebal terhadap makanan yang secara pendekatan
ilmiah itu adalah racun, makan nasi padahal duri. Ilmu kebal yang paling
berbahaya yang dimiliki orang sekolahan adalah kebal terhadap permasalahan yang
terjadi dimasyarakat.
Paulo Freire
menyatakan bahwa ada tiga tingkat kesadaran manusia. Pertama adalah Separuh Intransitif yakni manusia masih
berada dalam sangkar mengenai kelangsungan hidupnya dan belum sampai pada
pemahaman hakikat hidup. Kedua Intransitif
naïf, mereka sudah mampu membaca permasalahan, tapi cara berpikirnya naïf. Cenderung
condong ke elite, suka budaya instant, lebih suka menerima bentuk jadi dan
tidak mau beradu argumentasi.
Ketiga Intransitif-kritis, orang yang sudah
mencapai tahap ini adalah ia yang mampu
mengkritisi fenomena yang ada disekitarnya. Ia akan berpikir secara matang,
detil, dan teliti dalam mengambil tindakan. Merasa tidak puas dengan dengan
pendapat orang lain, yakni tidak begitu saja menyerap pendapat orang lain
sebelum ada dialog dengan argumentasi rasional. Mereka akan mengangap sesuatu
benar jika semua subyek mendalami realitas dan berusaha mengubahnya dalam suatu
bentuk dialogis secara terus menerus.
Jika dalam
gerakan mahasiswa hanya sampai pada tingakatan satu dan dua maka instrument pembebasan
akan menjadi tidak mantap atau limbung. Kalau pun sudah mencapai tingkat
ketiga, tidak ada yang bisa menjamin tidak akan tergelincir ketingkat pertama
dan kedua.
Hal Mahasiswa Demo (kritik)
Saya dulu adalah
orang yang percaya bahwa sekarang bukan lagi mahasiswa turun kejalan. Tapi akhirnya
saya bertemu pada sebuah ayat “hai orang yang berselimut, bangunlah, lalu
berikan peringatan”. Orang yang diselimuti tak pernah leluasa dalam bergerak,
membuat tangan dan kakinya sulit bergerak, mulutnya terbungkam. Maka syarat
untuk memberikan teguran, kritik, peringatan, saran anjuran, terlebih dahulu
kita harus keluar dari selimut, kemudian berdiri untuk lepas dari
ketergantungan dan ketertindihan. Setelah syarat tersebut kita penuhi barulah
ciptakan kekuatan untuk mengkonrol dan memang wajib untuk dikontrol baik
melalui tulisan, demonstrasi, atau bentuk peringatan apapun yang bisa
dipertanggung jawabkan.
Kritik itu
penting dan tidak boleh mati pada setiap zaman ataupun peradaban, sebab mereka
mengingatkan. Kriktik adalah bukan muhrim, sebab ia bisa dinikahi dan sesudah
nikah pun juga bisa membatalkan wudhu-nya, jika kritik adalah muhrim maka yang
terjadi adalah nepotisme. Kritik dapat menunjukan hal-hal yang bernilai maupun
yang tidak bernilai. Kebijakan, karya atau hasil produktivitas apapun,
memerlukan kritik agar melahirkan cara pandang dan bahan pengembangan sehingga
dapat dinikmati orang banyak. Jadi Kritik
bukanlah komentar yang berisi daftar permasalahan, namun juga harus dilampirkan
daftar solusi agar sang peng-kritik tidak disebut pedagang obat dan bukanlah pemenuhan
syahwat belaka, melainkan mampu melahirkan solusi untuk keluar dari
permasalahan yang disuarakannya.