Dec 23, 2013

Untuk STC 2013



Bismillah-irrahman-irrahim

Saya tulis ini untuk melengkapi kekurangan saya kemarin ketika diminta untuk menjadi fasilitator mengenai reformasi 1998. Dari apa yang pernah saya pelajari bahwa peristiwa 1998 memang memiliki cita-cita yang sangat mulia. Peristiwa mei 1998 adalah tiitk kulminasi dari semua rentetan peristiwa-peristiwa. Pemerintah ketika itu berntindak represif dan ditaktor. Dan ketika gelapnya zaman saat itu mampu membakar semangat nasionalisme semua elemen dan wajar banyak dari mereka yang masih idealis sehingga disebut pejuang. 


Ada tiga hal yang mendorong kekuatan peristiwa Reformasi 1998. Pertama, Pemerintah sebagai penyelenggara negara gagal mengelola kekayaan alam nusantara untuk kepentingan rakyat, yang terjadi adalah memenuhi lumbung-lumbung kekayaan para penguasa. Kedua, Pemerintah tidak mampu memberikan rasa aman bagi rakyatnya. Ketiga, Pemerintah tidak menjaga martabat manusia. Ketiga hal itulah yang menyatukan kekuatan semua elemen untuk melahirkan reformasi.

Pohon licin yang berhasil dipanjat saat reformasi memang membuahkan hasil dimana Soeharto bersedia untuk melepaskan jabatannya sebagai presiden. Namun, apakah sampai disini cita-cita reformasi. Perlu diketahui turunnya Soeharto kala itu bukan hanya karena tekanan dari mahasiswa. Soeharto ketika itu  khawatir dengan peristiwa penjarahan yang dilakukan ramai-ramai oleh rakyat, sebab hal itu menandakan batal kepemimpinannya dan gagalnya ia jadi kepala Negara. Hari ini reformasi bisa dibilang hanya menggantikan aktor lama dengan aktor yang baru dengan jumlah yang tidak hanya satu tapi berjamaah. 

Hal yang menjijikan saat peralihan kekuasaan dari Soeharto ke Habibie adalah ada sejumlah tokoh yang juga turut menggodok reformasi melakukan lobi ke Habibie untuk menjadi menteri. Bahkan ada yang mengatakan “Kalau jadi menteri pada pemerintahan Habibie yang hanya menjabat selama 5 bulan apa juga dapat uang pensiun”.

Pasca Reformasi
Ketika masa sebelum reformasi Presiden Soeharto atau  Raja Besar dilawan oleh ribuan pasukan mahasiswa, tapi pasca setelah reformasi Presiden hanya dilawan oleh ratusan orang, bahkan cukup beberapa puluh mahasiswa. Dimana martabat kepemimpinan ketika sudah menjadi Pemimpin negara tapi mau juga menjadi pemimpin partai. Reformasi yang melahirkan kebebasan ternyata membuat kemunduran mahasiswa baik integritas intelektual dan moral. Kejenuhan modernisme mejauhkan gerakan intelektual mahasiswa dari dimensi spiritualistik-etik. Dalam arti gerakan mahasiswa dijauhi dari hakikat kehidupan dan budaya intelektual mahasiswa masuk dalam bingkai kapitalistik serta telah meremukredamkan nilai-nilai kemanusian.

Mahasiswa yang ideal adalah tidak akan pernah menganggap bahwa rakyat adalah yang kosong pikirannya dan tidak mengetahui apa-apa. Justru rakyatlah yang hidup sangat pancasilais. Semestinya perjuangan mahasiswa yang ideal adalah tidak menggurui apalagi menipu rakyatnya. Kalau pemikiran inteletual mahasiswa terjebak dalam industrialisasi pemikiran, yakni menafsirkan fakta berdasarkan dengan pesanan maka hal ini akan menjadi ancaman bagi gerakan intelektual mahasiswa. 

Tiga tingkat Kesadaran
Kalau dulu Patih Gajah Mada memiliki sebuah perisai seperti Baja yang tidak bisa terlihat oleh kasat mata atau semacam ilmu yang jika ada anak panah yang diarahkan kepadanya tidak bisa terluka tubuhnya. Masyarakat umum menyebutnya dengan ilmu kebal. Diam-diam orang sekolahan ingin menguasai ilmu ini. Kalau rakyat memang sudah kebal. Dimana tubuh atau metabolismenya sudah kebal terhadap makanan yang secara pendekatan ilmiah itu adalah racun, makan nasi padahal duri. Ilmu kebal yang paling berbahaya yang dimiliki orang sekolahan adalah kebal terhadap permasalahan yang terjadi dimasyarakat. 

Paulo Freire menyatakan bahwa ada tiga tingkat kesadaran manusia. Pertama adalah Separuh Intransitif yakni manusia masih berada dalam sangkar mengenai kelangsungan hidupnya dan belum sampai pada pemahaman hakikat hidup. Kedua Intransitif naïf, mereka sudah mampu membaca permasalahan, tapi cara berpikirnya naïf. Cenderung condong ke elite, suka budaya instant, lebih suka menerima bentuk jadi dan tidak mau beradu argumentasi. 

Ketiga Intransitif-kritis, orang yang sudah mencapai tahap ini  adalah ia yang mampu mengkritisi fenomena yang ada disekitarnya. Ia akan berpikir secara matang, detil, dan teliti dalam mengambil tindakan. Merasa tidak puas dengan dengan pendapat orang lain, yakni tidak begitu saja menyerap pendapat orang lain sebelum ada dialog dengan argumentasi rasional. Mereka akan mengangap sesuatu benar jika semua subyek mendalami realitas dan berusaha mengubahnya dalam suatu bentuk dialogis secara terus menerus. 

Jika dalam gerakan mahasiswa hanya sampai pada tingakatan satu dan dua maka instrument pembebasan akan menjadi tidak mantap atau limbung. Kalau pun sudah mencapai tingkat ketiga, tidak ada yang bisa menjamin tidak akan tergelincir ketingkat pertama dan kedua.

Hal Mahasiswa Demo (kritik)
Saya dulu adalah orang yang percaya bahwa sekarang bukan lagi mahasiswa turun kejalan. Tapi akhirnya saya bertemu pada sebuah ayat “hai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berikan peringatan”. Orang yang diselimuti tak pernah leluasa dalam bergerak, membuat tangan dan kakinya sulit bergerak, mulutnya terbungkam. Maka syarat untuk memberikan teguran, kritik, peringatan, saran anjuran, terlebih dahulu kita harus keluar dari selimut, kemudian berdiri untuk lepas dari ketergantungan dan ketertindihan. Setelah syarat tersebut kita penuhi barulah ciptakan kekuatan untuk mengkonrol dan memang wajib untuk dikontrol baik melalui tulisan, demonstrasi, atau bentuk peringatan apapun yang bisa dipertanggung jawabkan.

Kritik itu penting dan tidak boleh mati pada setiap zaman ataupun peradaban, sebab mereka mengingatkan. Kriktik adalah bukan muhrim, sebab ia bisa dinikahi dan sesudah nikah pun juga bisa membatalkan wudhu-nya, jika kritik adalah muhrim maka yang terjadi adalah nepotisme. Kritik dapat menunjukan hal-hal yang bernilai maupun yang tidak bernilai. Kebijakan, karya atau hasil produktivitas apapun, memerlukan kritik agar melahirkan cara pandang dan bahan pengembangan sehingga dapat dinikmati orang banyak.  Jadi Kritik bukanlah komentar yang berisi daftar permasalahan, namun juga harus dilampirkan daftar solusi agar sang peng-kritik tidak disebut pedagang obat dan bukanlah pemenuhan syahwat belaka, melainkan mampu melahirkan solusi untuk keluar dari permasalahan yang disuarakannya.