Mar 9, 2014

Tidak Ada Budaya Tumpeng Di Kost Mbambung Selebritis

Bismillah-irrahman-irrahim

Kalau sesekali anda masuk ke Jalan pemuda IV - rawamangun. Sampai nanti ketemu dengan masjid Jami Al-Abror. Disitu anda akan lihat sepanduk bertuliskan "Pelatihan Kepemimpinan ... ". Tepat dibelakang spanduk itu adalah tempat kost mbambung selebritis dari tanah sumatera sampai jawa bagian tengah. Silahkan masuk kuncinya selalu terseida bagi siapa pun saja yang berniat baik.


Frekuensi saya datang ke tempat kost itu lumayan sering. Macam-macam keperluannya, tapi lebih sering untuk bermalam. Akhir-akhir ini saya jadi tenaga ousourcing untuk melakukan penlitian kecil-kecilan di tempat itu. Saya harus total untuk melihat ungkapan-ungkapan budaya saudara-suadara saya itu. Mulai soal tidur, kalau orang awam biasa tidur atas kasur, tikar, atau karpet, namun untuk tinggal disitu anda semua harus punya kesiapan menjalankan budaya selebritis untuk tidur di atas lantai dengan kondisi tekuk-menekuk  karena kondisi ruangan dan harus menikmati angin malam karena memang kost saudara saya itu selalu punya budaya menyapa alam, kalau pintu dibuka bararti itu menyapa dan harus siap untuk disapa. Nah untuk soal makan juga mereka semua menerapkan manajamen yang unik, mereka mengharuskan makan kalau sudah tiba pada titik puncak lapar. Lapar boleh tapi tidak untuk kelaparan, membiarkan tubuh kelaparan itu melanggar amanat Allah dalam merawat kesehatan. Jadi makan itu bisa makruh juga bisa wajib.Selebritis memang harus punya kesiapan untuk melakukan hal berbeda dari orang kebanyakan. Banyak orang melakukan sesuatu karena mereka menyukainya dan tidak melakukan sesuatu untuk hal yang mereka tidak sukai. Nah kaum-kaum seperti saudara saya yang tinggal di kost itu, menyiapkan diri untuk melakukan hal yang tidak disukai, dengan batas-batas tidak menabrak pagar negara dan Syariat Agama. Artinya mereka sudah melatih diri meninggalkan kepentingan pribadi untuk tinggal dihati nurani orang banyak.

Hal menarik lagi kalau sudah masuk akhir-akhir bulan. Dekapan ukhuwah akan semakin terasa. Persedian ketahanan pangan sudah masuk siaga 1, mereka harus siap-siap menemukan betapa nikmatnya uang seribu rupiah. Beberapa kali saya pernah menghadiri upacara kebudayaan menghadapi krisis ketahanan pangan di kost itu. Biasanya mereka kumpulkan uang-uang receh, kemudian dibelanjakan aneka makanan di warung tertentu dan dilakukan pada jam yang sudah mereka riset, dimana pada jam itu pemiliknya akan berbaik hati, ini bukan takhayul.

Ini melebihi budaya upacara potong tumpeng. Sebab di dalam upaca tumpeng hanya orang tertentu yang boleh memotong puncak paling atas dan akan dibagikan juga pada orang yang terpilih. Meskipun sesungguhnya budaya tumpeng itu punya filosofi mendalam di dalam ranah ilmu sosial, politik, ekonomi. Dalam hal kekuasaan atau politik, budaya tumpeng mengartikan yang paling atas punya kuasa besar, sementara yang dibawah hanya seujung kuku, untuk itu seharusnya tumpeng diletakan terbalik, kerucut harus diletakan dibawah. Kemudian untuk urusan ekonomi, tumpeng bagian atas harus dipotong agar terjadi de-monopoli-sasi sehingga yang berjalan adalah ekonomi rakyat, tapi budaya modern kita gagal memahami ini. Ada juga kegagalan filosofi lain bagi para pelaku potong tumpeng, yakni menganggap bahwa penghormatan dan pengistimewaan pada bagian puncak tumpeng. Jadi kalau puncak tumpeng sudah diangakat pakai pisau baik pisau dapur ataupun militer, semua orang akan bertepuk tangan, selanjutnya ramai-ramai akan menikmati bagian paling bawah. Anjuran saya untuk prosesi pemotongan tumpeng ini tekniknya harus diubah dengan memotong tumpeng secara vertikal sampai terbentuk atom-atom yang bisa didistribusikan secara merata.

Maka upacara yang dilakukan di kost mbambung selebritis ini adalah upacara menghamparkan. Dimana nasi akan dihamparkan pada satu wadah, distribusi lauk pauk akan dibagikan secara merata. Meskipun budaya hampar ini tidak memiliki bangunan estetis dan monolitik, namun disinilah semua akan masuk dalam kebersamaan. Semoga indonesia raya bisa menuju hamparaN raya, dimana pemimpin harus paham momentum kapan ia harus tumpeng untuk memimpin rakyatnya dan juga harus paham menghamparkan untuk siap melebur bersama rakyatnya. Nampan tanpa bangunan estetis dan monopolisasi lebih oke.