Bismillah-irrahman-irahim
Tidak
ada yang mengetahui secara pasti umur atau kematian seseorang. Bahkan sedetik
setelah saya menulis ini atau setelah menyelesaikan kalimat ini, saya tidak
pernah mengetahui kejadian apa yang akan menimpa saya. Pedagang kacang yang menyusuri
gang dan jalan-jalan kampung juga tidak pernah tahu pada detik atau menit
keberapa ia akan bertemu dengan pembeli. Semuanya mengandung rahasia. Dan
adalah kewajaran jika kita sebagai hamba Allah diberikan
keterbatasan-keterbatasan. Keterbatasan atau ketidaktahuan adalah sebagai jalan
agar kita menempuh perjuangan. Karena petani tidak tahu pasti apakah benih yang
ditanam akan berbuah padi ataukah akan mengalami puso, maka yang bisa
diusahakan petani adalah memupuk, mengairi, dan menyiangi sawah.
Ketidaktahuan
untuk hal yang tepat itu penting dan mesti disyukuri. Atas ketidaktahuan itulah
kita mesti senantiasa berjuang pada jalan resmi kearifan yang sesuai dengan
irradah-Nya. Kalau kita tahu persis apa isi hati setiap orang, dimana kita akan
letakan sikap perilaku untuk selalu husnudzon ?. Pernah satu waktu saya
berjalan di tengah hutan dan sejauh mata memandang adalah gelap pekat. Saya
sengaja tidak membawa lampu penerang, yang terjadi saya harus meraba-raba
jalan. Demikian ketidaktahuan atau keterbatasan adalah ibarat malam hari,
dimana gelap adalah ketiadaan cahaya. Dalam kehidupan dimana masa depan adalah
gelap pekat bagi ilmu seorang manusia. Kita tidak tahu seberapa luas ruang yang
mengalami kemalaran? Dan sampai dimana waktu yang Allah rentangkan untuk kehidupan manusia?,
maka kehidupan adalah malam hari.
Kita
semua sedang menembus malam. Menembus adalah upaya perjuangan manusia, dan
malam adalah keadaan dimana ilmu manusia memiliki keterbatasan. Kalau kita
belajar pada peristiwa Rasulullah ketika melakukan perjalanan isra mi'raj yang
menjadi peristiwa penting dalam sejarah peradaban manusia, Allah berfirman :
"Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam
..(17:1)". Peristiwa ini langsung dikonfirmasi oleh Abubakr
melalui sikap keilmiyahannya yang didahului dengan kepercayaaan, maka saat itu
Abubakr mendapat gelar ash-Shiddiq. Melalui pemahaman yang mendalam atas ayat
tersebut kita semua akan menyadari bahwa semestinya dalam kehidupan yang
diliputi malam (keterbatasan) senantiasa harus kita orientasikan dalam konsep
diperjalankan oleh Allah SWT dan untuk mensucikan Allah. Menjadi presiden,
gubernur, menteri, walikota atau apapun saja harus disandarkan dan dipahami
bahwa segala sesuatunya Allah perjalankan dan bukan karena ambisi atau
kepentingan pribadi yang akan menimbulkan prasangka untuk saling menjatuhkan. Allah
yang memperjalankan, maka Allah pulalah yang memfasilitasi.
Belajar
pada kejadian ketika saya harus melintasi hutan dalam keadaan malam, yang
terjadi adalah saya harus meraba-raba jalan untuk tiba pada tempat tujuan. Untuk
melewati jalan yang gelap atau untuk menentukan langkah menuju masa depan kita
membutuhkan cahaya. Sebab tanpa keberadaan cahaya kita bisa tersesat dalam
kehidupan. “Allah pemberi cahaya kepada
langit dan bumi (24:35)”. Cahaya yang berasal dari Allah adalah cahaya yang
sesungguhnya kita butuhkan dalam perjalanan malam, dan hanya Allah yang mampu
memberikan petunjuk kepada siapapun saja di bumi dan di langit. Pada siapapun
saja yang sedang menempuh perjalanan malam, Cahaya-Nya atau Petunjuk Allah
adalah hal mutlak kita butuhkan untuk menembus malam. Tanpa Cahaya-Nya kita
bisa bertabrakan dan berbenturan.
Akhirnya
kita harus memilih, dalam perjalanan kehidupan ini kita berposisi sebagai apa
dan siapa?. Apakah sepenuhnya nasib kita
itu ditentukan karena kesadaran sebagai hamba atau karena kita sendirilah yang
bisa menolong nasib kita. Kalau kamu menjadi presiden, bupati, dosen, lurah
atau apapun saja sepenuhnya karena kepentingan dan ambisi pribadi. Maka tidak
ada cara lain untuk mengupayakannya selain memusuhi, memfitnah, menjatuhakan
satu sama lain. Namun jika kesadaran kita adalah sebagai hamba, insyaAllah segala
hal sesuatunya Allah sendiri yang akan memfasilitasinya. Karena kasih sayang
Allah juga ada pada mereka yang berkesadaran sebagai abdullah, sehingga kita
tidak perlu melakukan pencurian rahmat yang diberikan pada orang lain, sebab jika
pencurian itu terjadi kita harus membayarnya yakni Allah tidak akan menaburi
rahmat pada hidup kita.