May 28, 2014

Menembus malam



Bismillah-irrahman-irahim

Tidak ada yang mengetahui secara pasti umur atau kematian seseorang. Bahkan sedetik setelah saya menulis ini atau setelah menyelesaikan kalimat ini, saya tidak pernah mengetahui kejadian apa yang akan menimpa saya. Pedagang kacang yang menyusuri gang dan jalan-jalan kampung juga tidak pernah tahu pada detik atau menit keberapa ia akan bertemu dengan pembeli. Semuanya mengandung rahasia. Dan adalah kewajaran jika kita sebagai hamba Allah diberikan keterbatasan-keterbatasan. Keterbatasan atau ketidaktahuan adalah sebagai jalan agar kita menempuh perjuangan. Karena petani tidak tahu pasti apakah benih yang ditanam akan berbuah padi ataukah akan mengalami puso, maka yang bisa diusahakan petani adalah memupuk, mengairi, dan menyiangi sawah.


Ketidaktahuan untuk hal yang tepat itu penting dan mesti disyukuri. Atas ketidaktahuan itulah kita mesti senantiasa berjuang pada jalan resmi kearifan yang sesuai dengan irradah-Nya. Kalau kita tahu persis apa isi hati setiap orang, dimana kita akan letakan sikap perilaku untuk selalu husnudzon ?. Pernah satu waktu saya berjalan di tengah hutan dan sejauh mata memandang adalah gelap pekat. Saya sengaja tidak membawa lampu penerang, yang terjadi saya harus meraba-raba jalan. Demikian ketidaktahuan atau keterbatasan adalah ibarat malam hari, dimana gelap adalah ketiadaan cahaya. Dalam kehidupan dimana masa depan adalah gelap pekat bagi ilmu seorang manusia. Kita tidak tahu seberapa luas ruang yang mengalami kemalaran? Dan sampai dimana waktu yang Allah rentangkan untuk kehidupan manusia?, maka kehidupan adalah malam hari.

Kita semua sedang menembus malam. Menembus adalah upaya perjuangan manusia, dan malam adalah keadaan dimana ilmu manusia memiliki keterbatasan. Kalau kita belajar pada peristiwa Rasulullah ketika melakukan perjalanan isra mi'raj yang menjadi peristiwa penting dalam sejarah peradaban manusia, Allah berfirman : "Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam ..(17:1)". Peristiwa ini langsung dikonfirmasi oleh Abubakr melalui sikap keilmiyahannya yang didahului dengan kepercayaaan, maka saat itu Abubakr mendapat gelar ash-Shiddiq. Melalui pemahaman yang mendalam atas ayat tersebut kita semua akan menyadari bahwa semestinya dalam kehidupan yang diliputi malam (keterbatasan) senantiasa harus kita orientasikan dalam konsep diperjalankan oleh Allah SWT dan untuk mensucikan Allah. Menjadi presiden, gubernur, menteri, walikota atau apapun saja harus disandarkan dan dipahami bahwa segala sesuatunya Allah perjalankan dan bukan karena ambisi atau kepentingan pribadi yang akan menimbulkan prasangka untuk saling menjatuhkan. Allah yang memperjalankan, maka Allah pulalah yang memfasilitasi.

Belajar pada kejadian ketika saya harus melintasi hutan dalam keadaan malam, yang terjadi adalah saya harus meraba-raba jalan untuk tiba pada tempat tujuan. Untuk melewati jalan yang gelap atau untuk menentukan langkah menuju masa depan kita membutuhkan cahaya. Sebab tanpa keberadaan cahaya kita bisa tersesat dalam kehidupan. “Allah pemberi cahaya kepada langit dan bumi (24:35)”. Cahaya yang berasal dari Allah adalah cahaya yang sesungguhnya kita butuhkan dalam perjalanan malam, dan hanya Allah yang mampu memberikan petunjuk kepada siapapun saja di bumi dan di langit. Pada siapapun saja yang sedang menempuh perjalanan malam, Cahaya-Nya atau Petunjuk Allah adalah hal mutlak kita butuhkan untuk menembus malam. Tanpa Cahaya-Nya kita bisa bertabrakan dan berbenturan.

Akhirnya kita harus memilih, dalam perjalanan kehidupan ini kita berposisi sebagai apa dan siapa?.  Apakah sepenuhnya nasib kita itu ditentukan karena kesadaran sebagai hamba atau karena kita sendirilah yang bisa menolong nasib kita. Kalau kamu menjadi presiden, bupati, dosen, lurah atau apapun saja sepenuhnya karena kepentingan dan ambisi pribadi. Maka tidak ada cara lain untuk mengupayakannya selain memusuhi, memfitnah, menjatuhakan satu sama lain. Namun jika kesadaran kita adalah sebagai hamba, insyaAllah segala hal sesuatunya Allah sendiri yang akan memfasilitasinya. Karena kasih sayang Allah juga ada pada mereka yang berkesadaran sebagai abdullah, sehingga kita tidak perlu melakukan pencurian rahmat yang diberikan pada orang lain, sebab jika pencurian itu terjadi kita harus membayarnya yakni Allah tidak akan menaburi rahmat pada hidup kita.