Aug 2, 2014

Maka Kemenangan Sejati


Assalamu'alaykum wr.wb
Bismillah-irrahman-irrahim

Setelah selesai kita sibuk mempersiapkan segala sesuatunya, saling bersalam-salaman, mengunjungi satu dengan lain, bermaaf-maafan. Selain memasuki budaya idul fitri, kita semua juga menjadi pekerja budaya tersebut. Dihadapan satu dengan yang lain antar manusia, kita sudah sama-sama ber-idul fitri.  Namun apakah dihadapan Allah, sudah menjadi fitri-kah hidup kita.


Sepanjang jalan dalam perjalanan malam kemenangan kemarin, hampir setiap gema takbir yang saya dengar diiringi irama perkusi dan juga tak jarang diiringi dengan kemampuan musik elektronik. Sesungguhnya kalau sudah sampai pada puncak kekhusukan maka tidak ada lagi suara perkusi yang sanggup mengiringi. Saya sangat khawatir kalau nanti fokus kita hanya kepada kendang pengiring takbir bukan pada menghayati makna dibalik kalimat takbir yang dilantunkan. Jauh di desa-desa, takbir yang dikumandangkan oleh orang-orang tua dengan penuh keheningan, suaranya tidak pernah diliput oleh sejarah tapi ia tetap bertahan dari lalu lintas zaman. Setia pada akar. Kelak suara itu yang akan mengingatkan kita mengenai pengabdian. Tidak peduli apakah ia menjadi orang penting atau tidak, sebab pengabdian tidak memerlukan jabatan sebagaimana orang-orang modern yang mengejar-ngejarnya dengan segala cara. Maka kemenagan sejati adalah siap untuk tidak menjadi apa-apa, sebab setiap pangkat, gelar, status sosial, fungsi birokrasi dan sebagainya tidak pernah dibawa sujud. Setiap gubernur, presiden masuk masjid dan bersujud maka ia adalah manusia sebagai hamba Allah.

Hari ini baru saja kita lewati proses pemilihan pemimpin, tampaknya kondisi negara kita dibuat kacau dengan harga pemilu yang sangat mahal hanya untuk membiayai fitnah dan kedengkian. Hampir pada setiap kondisi, rakyat selalu dijadikan objek, hanya pada hal tertentu ia dijadikan sebagai subjek. Tidak ada lagi kejernihan yang diberitakan, melainkan tipudaya. Sehingga rakyat sulit membedakan mana manis dan mana gula. Segala sesuatu yang tak manis langsung dinyatakan bukan gula. Sehingga antar pendukung kita bertengkar atas informasi syubhat yang bertebaran dan langsung dianggap kebenaran mutlak. Padahal kefitrian adalah menanggalkan kepalsuan, dimana tugas jurnalistik adalah mewartakan nilai-nilai kebenaran, membawa kebenaran langit sebagai panduan kebenaran di bumi. Manusia modern menggeser cara pandang kehidupan menuju kerak cahaya alias yang terpenting adalah memenuhi sandang, pangan, dan papan. Hingga kebenaran suatu waktu bisa berubah, ia bisa menjadi primer dan bisa jadi sekunder. Maka kemenangan sejati adalah mampu mengunyah informasi yang bertebaran, sebab setiap yang berwajah makanan belum tentu menyehatkan. Malah yang berwajah (maaf) feses justru bisa menyehatkan sebab ia dikeluarkan untuk membuang kotoran yang tak penting dalam tubuh.

Berkali-kali bangsa kita melewati idul fitri, apakah tidak ada sedikitpun kesadaran untuk mengucapkan salam pada kebodohan dan kepalsuan untuk tidak diulangi lagi dan lagi. Salamun 'alaikum laa nabtaghil-jahilin.

Teringat pada sebuah peristiwa, dimana menjelang wafatnya Rasulullah SAW. Beliau bertanya pada sahabat-sahabatnya "siapakah yang pernah merasa teraniaya oleh ku. Hendaknya sekarang juga melakukan qishos kepadaku" tiga kali Rasulullah menyampaikan maksudnya tersebut. Dan akhirnya seseorang berdiri, disampaikan bahwa Rasulullah ketika hendak ingin mempercepat unta tunggangannya, cambuknya mengenai Ukasyah Ibnu Muhsin. Ukasyah meminta Rasulullah melepaskan pakaiannya dan menyiapkan tubuhnya untuk melakukan qishos. Namun ketika Nabi Muhammad memenuhi permintaannya tersebut, Ukasyah melepaskan cambuknya, ia silau atas cahaya kebesaran jiwa Rasulullah. Akhirnya tubuh Rasulullah dipeluk era-erat oleh Ukasyah. Sungguh peristiwa yang agung dalam sejarah kehidupan manusia. Adakah pejabat, menteri, gubernur, presiden yang pada Idul Fitri menyodorkan tubuhnya untuk dicambuk oleh rakyatnya yang mungkin pernah teraniaya?.