Aug 21, 2014

Pakaian Keselamatan


Bismillah-irrahman-irrahim

Pada masa 1980-an pemakaian jilbab bagi muslimah Indonesia tentu bukanlah sesuatu yang mudah untuk dikenakan, sangat dibutuhkan perjuangan untuk mengenakannya. Kalau kebenaran yang kita yakini, ternyata tidak mendapat ruang didalam lingkungan sekitar kita, apakah kita sanggup untuk terus memanggul kebenaran tersebut?. Apakah tetap akan kita usung kebenaran tersebut meskipun pagi telah berganti malam?. Para siswi yang mengenakan jilbab pada rezim orde baru harus siap menjadi martir untuk diskors atau mungkin dikeluarkan dari sekolah hanya untuk mempertahankan haknya dalam mengenakan jilbab.


Istilah jilbab pada 1980-an belum sepopuler sekarang. Ketika itu pelajar wanita di pesantren, madrasah-madrasah di jawa dan sumatera memang sudah memakainya namun istilahnya adalah kerudung atau baju kurung. Anne Rufaidah, aktifis salman ITB, melalui majalah karisma ITB beliau memasyarakatkan busana muslimah rancangannya kepada masyarakat. Anne merupakan mahasisiwi FSRD ITB yang pertama mengenakan jilbab ketika ia mengikuti salah satu unit di Salman, yaitu KARISMA (Keluarga Remaja Islam Salman). Pada Masa Orde Baru, Akibat tindakan represif dari sekolah, banyak para siswi yang mengenakan jilbab dikeluarkan dari sekolahnya. Anne dan beberapa temannya membuat bimbingan belajar untuk mereka para siswi yang dikeluarkan dari sekolahnya. Bukan sekedar bimbingan belajar, para siswi juga diberikan semangat agar tak menyerah untuk terus mempertahankan kebenaran bahwa pemakaian jilbab bagi seorang muslimah adalah hak sekaligus kewajiban.

Kepala sekolah dan guru yang takut kariernya terhambat, tak segan-segan mengeluarkan siswi yang berjilbab. Kejadian demikian membuat gerakan di masyarakat untuk melakukan perlawanan atas ketertindasan tersebut. Sidang-sidang yang menyidangkan gugatan para pemakai jilbab, tak pernah sepi dari pengunjung, demonstrasi di jalanan kerap dilakukan, aksi solidaritas pun digalang diantara para aktivis. Atas kontrol yang ketat terhadap aktivitas keagamaan, campur tangan pemerintah pada intern organisasi islam dan kepemudaan, dan berbagai kebijakan membuat kegiatan dakwah dan kegiatan organisasi serta tradisi ilmiah menjadi mandeg. Atas hal tersebut telah menjadikan alasan yang kuat bagi sebagian kalangan untuk memilih jalan frontal meskipun harus siap dilumpuhkan oleh rezim orba atas dukungan militer, juga tak jarang yang memilih jalan kultural dalam melakukan perlawanan.

Hati siapa yang tak terluka atas pelarangan terhadap wanita-wanita muslimah untuk melaksanakan Surah Al-Ahzab ayat 59 dan An-nur ayat 31. Hal ini mendorong Tokoh Budayawan Emha Ainun Nadjib menuliskan puisi panjang berjudul "Lautan Jilbab", yang kemudian dipentaskan diberbagai kota. Puisi tersebut menyuarakan dengan lantang atas pelarangan jilbab sekaligus disisipkannya kritik pada rezim orde baru atas dwifungsi ABRI, asas tunggal, ekonomi rakyat kecil, pemberangusan kritik, dll. Sepanjang sejarah, pentas "Lautan Jilbab" adalah pentas yang paling banyak memukau puluhan ribu penonton. Namun hal terpenting dari pentas tersebut bukanlah terletak pada jumlah penonton, melainkan kemampuan Emha dalam merumuskan semangat zaman dan membaca tanda-tanda zaman. Sosiolog Belanda, Niels Murder mengatakan sejak lautan jilbab dipentaskan bersama Jamaah Shalahuddin maka pakaian muslim telah ikut menjadi budaya masyarakat. Bahkan naskah "lautan jilbab" beredar di masyarakat bagaikan kacang goreng meskipun bentuknya dalam bentuk stensilan atau fotocopy. Bagi Emha pelarangan jilbab adalah tindakan yang aneh dan melanggar hak asasi manusia oleh sebab itu harus dilawan. Pentas Lautan Jilbab merupakan bentuk perlawanan Emha terhadap keanehan dan ketidakadilan tersebut melalui jalur kebudayaan.

Jilbab ini lagu sikap kami, tinta keputusan kami,
langkah-langkah dini perjuangan kami
jilbab ini surat keyakinan kami,
jalan panjang belajar kami, proses pencarian kami
jilbab ini percobaan keberanian di tengah pendidikan ketakutan yang tertata dengan rapi
jilbab ini percikan cahaya dari tengah kegelapan,
alotnya kejujuran di tengah hari-hari dusta
jilbab ini eksperimen kelembutan untuk meladeni jam-jam brutal dari kehidupan
jilbab ini usaha perlindungan dari sergapan-sergapan”-Emha Ainun Nadjib

Kegelapan yang pernah menimpa bangsa ini setidaknya mesti membuat kita belajar bahwa jilbab sebagai makna pakaian badan yang menjadi hak sekaligus kewajiban bagi setiap muslimah untuk mengenakannya kala itu harus melalui perjuangan, gesekan, pertentangan untuk akhirnya menjadi ma'ruf. Jilbab telah menjadi simbol perlawanan terhadap otoritas negara dan juga atas sinisnya islamphobia saat itu melalui perjuangan yang sungguh-sungguh. Bukan hanya sekedar menjadi mode pakaian untuk bermewah-mewahan bersama komunitas jilbaber, hijabers apalagi dijadikan pelecehan dengan istilah baru yang hari ini terjadi atas tindak kebodohan akal budi manusia. Jilbablah yang menjadi pelindung atas cahaya yang dikandung pada setiap wanita, semakin lebar pakaian yang dikenakan semakin tinggi ia memberi harga pada dirinya. Kalau Allah ciptakan matahari yang cahayanya diizinkan untuk menyebar ke seluruh ruang alam semesta secara telanjang, maka cahaya pada wanita hanya boleh dipancarkan dengan dipersyarati Surat nikah.  

Jilbab sebagai penutup aurat, menghadirkan kepada kita pemahaman bahwa kehidupan mengandung batas-batas yang semestinya ditutupi. Hari ini hal-hal yang semestinya ditutupi justru dibuka dengan sengaja. Dalihnya adalah sebagai bentuk kemerdekaan manusia. Padahal tenaga manusia sesungguhnya tidak pernah mampu untuk meladeni kemerdekaan, sebab kemerdekaan itu masih diliputi kemungkinan, sementara manusia hidupnya senantiasa klop dalam kepastian. Alhamdulillah Allah tidak perkenankan saya untuk merdeka. Jika Allah memerdekakan saya, maka tak akan sanggup apabila saya harus menggerakkan sendiri jantung untuk berdetak, mengatur dan mengarahkan jalannya aliran darah. Maka seharusnya kemerdekaan merupkan jalan bagi manusia untuk menemukan batas-batas. Sekarang silahkan kita menakarnya apakah manusia tanpa pakaian merupakan pencapaian tertinggi budaya manusia atau justru menanggalkan kemanusian. Sekali-kali anda boleh mempraktikannya, pergi ke pasar kemudian tanggalkan seluruh pakaian anda. Kalau pakaian yang dikenakan seorang wanita memberikan peluang bagi laki-laki untuk menatapnya sebagai benda, maka sang wanita turun derajatnya ketingkat batu.

Dunia entah sedang bergerak ke arah mana, orang-orang merasa mengalami kemajuan dalam hidupnya dengan mengenakan pakaian yang menampilkan sesuatu yang tak layak untuk ditampilkan secara kebudayaan maupun keselamatan khalayak dengan tanpa menanyakan kearah mana kemajuan itu bergerak. Apakah pakaian yang disebut kemajuan oleh orang modern adalah untuk mencapai kesejatian terhadap harkat perjalanan kemansiaan atau justru mengancam kehidupan mereka sendiri untuk melahirkan kejahilan dan kenakalan dunia. Apabila disuatu wilayah ada seorang muslim, maka dirinya harus membuat aman orang lain maupun tatanan–tatanan ikatan hidup yang ada dilingkungan tersebut. Maka jilbab adalah pakaian keselamatan dalam skala ruang dan waktu dunia-akhirat untuk menjaga cahaya keindahan wanita yang tersembunyi, sekaligus bentuk doa tanpa kata untuk berlindung dari kejahilan dunia.