Pendidikan Dari Zaman ke Zaman (1)
Oleh : Karyadi
Pendahuluan
Munculnya
kebijakan pendidikan oleh Kolonial Belanda terhadap orang Indonesia ditunjukan
dengan dirikannya sekolah bagi kalangan pribumi pada petengahan abad ke 19,
artinya sudah 114 tahun usia sekolah yang ada di Indonesia – yang menjadi
tempat untuk melakukan proses pendidikan. Pertanyaanya, apakah sebelum sistem
sekolah yang digagas oleh kolonial itu, bangsa Indonesia tidak bersekolah atau
tidak memiliki budaya pendidikan?.
Pada zaman kolonial, dikatakan penduduk pribumi mayoritas mengalami buta huruf, yang dimaksud dengan buta huruf apakah hanya pada huruf alphabet (A, B, C, dst). Apakah tidak diperhitungkan penduduk pribumi yang sudah melek huruf hijaiyah (Alif, Ba, Ta, dst.) atau aksara jawa (Ha na ca ra ka). Kalau dirunut awal munculnya istilah guru dan murid, hal itu sudah ada sebelum kolonial belanda datang. Sebab kata guru berasal dari ajaran hindu-budha artinya adalah kekuatan untuk menghalau kegelapan atau kebodohan dan istilah ‘murid’ berasal dari bahasa arab yakni irrada yang artinya kehendak. Jadi berdasarkan adanya istilah guru dan murid, bangsa Indonesia sudah mengenal sistem pendidikan sebelum sekolah-sekolah diperkenalkan oleh kolonial belanda. Pendidikan pada masa pra kolonial bukanlah dalam bentuk yang formalistik melainkan sebuah bentuk yang membudaya dan menjadi kebudayaan. Proses Penididikan diawali dari interaksi dalam kehidupan keluarga, interaksi sosial antara individu dengan individu lain, interaksi antara masyarkaat dan individu, interaksi antara masyarakat dan komunitas disekitarnya.
Pada zaman kolonial, dikatakan penduduk pribumi mayoritas mengalami buta huruf, yang dimaksud dengan buta huruf apakah hanya pada huruf alphabet (A, B, C, dst). Apakah tidak diperhitungkan penduduk pribumi yang sudah melek huruf hijaiyah (Alif, Ba, Ta, dst.) atau aksara jawa (Ha na ca ra ka). Kalau dirunut awal munculnya istilah guru dan murid, hal itu sudah ada sebelum kolonial belanda datang. Sebab kata guru berasal dari ajaran hindu-budha artinya adalah kekuatan untuk menghalau kegelapan atau kebodohan dan istilah ‘murid’ berasal dari bahasa arab yakni irrada yang artinya kehendak. Jadi berdasarkan adanya istilah guru dan murid, bangsa Indonesia sudah mengenal sistem pendidikan sebelum sekolah-sekolah diperkenalkan oleh kolonial belanda. Pendidikan pada masa pra kolonial bukanlah dalam bentuk yang formalistik melainkan sebuah bentuk yang membudaya dan menjadi kebudayaan. Proses Penididikan diawali dari interaksi dalam kehidupan keluarga, interaksi sosial antara individu dengan individu lain, interaksi antara masyarkaat dan individu, interaksi antara masyarakat dan komunitas disekitarnya.
Pendidikan Masa Hindu-Budha
Pendidikan
pra kemerdekaan terbagi menjadi empat periode : Pertma periode Hindu-Budha,
Periode Pendidikan Islam, Pendidikan Periode Kolonial Belanda, Pendidikan
Periode Pendudukan Jepang.
Pada
masa hindu-budha, terdapat sebuah entitas politik, hal ini tercermin dengan
berdirinya kerajaan-kerajaan. Untuk mendukung sistem politik tersebut,
dibutuhkan lembaga pendukung dan sosialisasi. Salah satunya adalah lembaga
pendidikan. Lembaga pendidikan yang menjadi sarana sosialisasi, menjadikan
pendidikan sebagai aktivitas orang atau masyarakat beradab dalam mengembangkan
jiwanya. Oleh sebab itu lembaga pendidikan pada masa hindu-budha memberikan
pengajaran yang mencakup nilai-nilai, kecakapan hidup atau ketrampilan, dan
kepentingan politik dari kerajaan.
Dalam
sebuah jurnal (Andi Suwirta, 2009) disebutkan bahwa pendidikan pada masa
hindu-budha hanya dapat diikuti oleh kelas tertentu. Sebagaimana kita ketahui
bahwa pada masa hindu-budha terdapat pembagian-pembagian kelas yakni Brahmana,
Ksatria, Waisa, dan Sudra. Kalangan yang bisa mengikuti pendidikan yang
diselenggarakan kerajaan adalah kelas brahmana, ksatria, dan waisa. Namun, jika
kita lihat disumber lain bahwa dampak dari masuknya hindu-budha pada pendidikan
di Indonesia adalah adanya pengajaran mengenai budi pekerti, nilai-nilai, dan
ketrampilan hidup. Jika pada masa hindu-budha yang diajarkan adalah budi
pekerti dan nilai-nilai tentunya ini sangat bertentangan jika yang dapat menikmati
pendidikan adalah golongan tertentu. Hal ini semestinya menjadi bahan untuk
kita telaah kembali apa fungsi sesungguhnya dari sistem pembagian kelas-kelas
tersebut?
Salah
satu sejarahwan Nusantara, Agus Sunyoto, pernah memaparkan mengenai struktur
sosial era Majapahit. Bahwa ada pembagian struktur masyarakat pada era
majapahit bukan menggambarkan kelas-kelas atau strata sosial namun pembagian
peran dan fungsi masyarakat dalam negara dan keterikatannya pada kepentingan
keduniawian. Semakin jauh keterikatan seseorang pada keduniawian semakin tinggi
martabat orang tersebut. Sebaliknya semakin dekat dan kuat ketertarikan
seseorang pada materil dan keduniawian semakin rendah martabatnya.
Masyarakat
tertinggi pada era majapahit adalah kaum rohaniawan yang biasanya juga menjadi
budayawan. Mereka hidup ditengah-tengah hutan, gunung-gunung, atau tempat yang
jauh dari hiruk pikuk aktivitas keduniawian. Kaum ini disebut brahmana, yang sangat dihormati oleh
masyarakat dan tugasnya adalah membimbing masyarakat.
Ksatria adalah mereka yang menjadi abdi negara. Orang-orang
ini hidup untuk negara dan dibiayai oleh negara. Jika sehabis berperang mereka
membawa harta peperangan, maka harta tersebut adalah milik negara bukan untuk
dimiliki secara pribadi. Ksatria yang terlihat oleh masyarakat lebih termahsyur
harta kekayaannya akan dikucilkan sebab orang yang mengabdikan diri pada negara
harus bersih dari ambisi pribadi. Oleh karena itu raja dan keluarganya,
menteri-menteri, adipati, serta tentara-tentara kerajaan adalah termasuk
golongan ksatria.
Waisya merupakan lapisan masyarakat yang sudah memiliki
keterikatan pada materi keduniawian, seperti memiliki rumah, tanah, sawah,
ternak, dan perkebunan Meskipun demikian kedudukan mereka tetap dihormati sebab
yang memiliki peran untuk menyediakan pangan kepada warga adalah kaum petani
atau waisa.
Sudra yaitu saudagar, para tuan tanah, atau yang memiliki
kekayaan berlebih. Pandangan yang berlaku pada masyarakat saat itu, kaum sudra
adalah orang-orang yang tidak diperbolehkan untuk menyebarkan agama, karena
sangat dikhawatirkan akan memiliki kepentingan pribadi dan orang-orang yang
menumpuk kekayaan merupakan manifestasi dari nafsu.
Apabila
dilihat dari pembagian peran dan fungsi masyarakat pada era majapahit, pendidikan
pada masa hindu-budha bertujuan agar seseorang menjadi mulia sebab yang
mengajarkan atau yang boleh berperan dalam membimbing masyarakat adalah
brahmana. kaum yang tidak memiliki kepentingan terhadap manifestasi nafsu. Pada
masa ini lembaga-lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh negara
dilaksanakan di padepokan dengan sistem pengajaran presentasi lisan. Dan terdapat
juga lembaga pendidikan di luar patronase raja yakni berada di gunung-gunung
dan ditengah hutan. Tempat bagi mereka yang menimba ilmu di tengah hutan atau
gunung-gunung disebut ‘ashram’ (asal kata asrama) artinya tempat untuk menempa
kehidupan lahir dan batin. yakni melakukan perjalanan atau pengembaraan. Hal
ini bisa kita lihat dalam naskah bujangga manik. Dalam naskah tersebut
tergambarkan bahwa dalam perjalanan atau pengembaraannya manusia akan mempelajari
kebijaksanaan serta membentuk kepribadiannya. Sebab dalam perjalanan pribadi (lalempahan) ia bisa menemukan beragam
peristiwa yang harus dihadapi atau disikapi serta juga dapat bertemu dengan
pandhita atau kyai untuk belajar sesuatu padanya.
Unit-unit inti penjaga nilai masa hindu-budha
Jauh
dari pusat kerajaan hindu-budha terdapat wilayah atau kampung yang disebut
wanua. Dalam prasasti-prasasti mataram kuno, wanua memiliki arti kelompok. Dalam
prasasti kedukan bukit, wanua dibangun dengan sukacita. Struktur asli desa
disebut dengan wanua. Karakteristik wanua adalah sebuah wilayah perkampungan
yang mandiri. Yang ingin diungkapkan dalam tulisan ini adalah bahwa unit kecil
seperti wanua ini merupakan kekuatan inti dalam membangun peradaban masyarakat.
Karena keadaannya jauh dari pusat kekuasaan, memberikan keleluasaan dalam
mengembangkan nilai lokal. Meskipun tidak dapat dipungkiri, bahwa nilai-nilai
yang berasal dari kelompok sosial yang lebih besar juga berusaha masuk ke dalam
wanua. Namun, karena karakter kemandirian yang dibangunnya, tidak membuat serta
merta nilai-nilai itu ditelan tanpa daya kunyah. Sehingga terjadilah akulturasi
budaya. Peran wanua ketika terjadi keruntuhan kerajaan majapahit adalah sebagai
penjaga nilai-nilai keluhuran asli yang telah mengakar. Sebagai unit sosial,
wanua merupakan pusat dunia atau kampung asal yang
menjadi inti kekuatan untuk membangun peradaban manusia. Proses pendidikan yang
terjadi dalam unit wanua adalah proses interaksi sosial yang saling menjaga
satu dengan lainnya sehinga membentuk karakter dan perilaku individu.
Unit
lainnya yang menjadi inti penjaga nilai pada waktu kerajaan hindu-budha (masa
majapahit) adalah mandala. Mandala pada masa itu ada dua maksud yakni bermakna
sebagai liga raja-raja atau persatuan kekuasaan politik. Dan makna kedua yaitu
lingkungan pertapaan yang dilengkapi dengan asrama (tempat tinggal yang
beruguru pada orang suci). Sebelumnya dijelaskan mengenai lembaga pendidikan
diluar patronase raja, mandala merupakan unit inti penjaga nilai yang jauh dari
kekuasaan yang menjadi institusi pendidikan dan juga berperan penting dalam
memilhara nilai-nilai keluhuran ditengah kekacauan situasi. Ada kurang lebih
200 mandala yang terdapat di pulau jawa menjelang keruntuhan majapahit.
Keberadaan mandala juga ikut mempengaruhi masyarakat dalam lingkungan kerajaan majapahit,
serta dianggap menjadi benteng pertahanan terakhir saat penguasa pusat tak lagi
berpegang teguh pada nilai-nilai dan ajaran agama.
Kedua
unit yaitu mandala dan wanua pada masa hindu-budha merupakan kekuatan yang
menopang peradaban manusia agar tidak mengalami kehancuran total dari
ancaman-ancaman invansi internasional untuk mempengaruhi spirit luhur dan
nilai-nilai tradisi dan agama. Kalau dilihat dari peran keduanya tentu sangat
berhubungan dengan proses pendidikan yakni menyelamatkan manusia dari
keterjajahan.
Penidikan Masa Islam
Kedatangan
Islam ke Nusantara sudah dimulai pada abad ke-8, pada masa itu Islam belum
berkembang pesat. Sebab yang membawa Islam adalah kalangan saudagar. Hal
tersebut terjadi karena pada masa hindu-budha, pandangan masyarakat mengenai
kaum sudagar (sudra) adalah kalangan yang tidak boleh menyebarkan agama, sebab
dikhawatirkan membawa kepentingan yang menguntungkan pribadi. Perkembangan
Islam baru terlihat pesat pada abad ke-14 dimana yang membawa Islam adalah dari
kalangan pejalan atau walisanga, yakni suatu kwalitas kepribadian manusia yang
oleh bangsa Nusanara dijunjung paling tinggi.
Pada
masa islam pendidikan berkembang menjadi sistem pesantren yang merupakan
inovasi dan improvisasi dari zaman hindu-budha. Para wali yang menyebar agama
islam mempergunakan konsep mandala sebagai institusi dakwah dan pendidikan
dengan nama pesantren. Pesantren berasal dari kata santri, menurut C.C Berg
bahwa istilah pesantren berasal dari istilah “shastri”, yang memiliki arti
orang yang ahli dalam kitab agama hindu. Untuk membedakan, maka digunakan kata
“santri”, yakni orang yang ahli kitab agama islam. Secara terminologis,
pesantren adalah orang yang mempelajari ilmu agama islam. Dalam pendapat lain,
menyatakan bahwa pesantren berasal dari bahasa jawa, yaitu dari kata “cantrik”,
artinya orang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi menetap.
Dalam
sistem pesantren sosok guru merupakan figur sentral yang menjadi panutan
muridnya. Dan tempat yang digunakan untuk melakukan pembelajaran adalah surau
atau masjid yang menjadi pusat kegiatan. Interaksi yang terjadi pada proses
pendidikan pesantren tidak hanya dibatasi oleh hubungan murid dengan guru namun
juga terdapat interaksi dengan masyarakat, sehingga pesantren menjadi tempat
para murid untuk belajar hidup dan bermasyarakat. Guru atau kyai dengan murid dalam proses pendidikan memiliki
hubungan yang sangat dekat sebab pembelajaran bersifat individual sehingga seorang
guru sangat memahami benar kondisi psikologis dan potensi murid.
Peran walisanga dalam pendidikan di nusantara tentu
sangat jelas dari misi yang dibawanya yakni membawa nilai-nilai dan ajaran
islam yang bertujuan menjadikan manusia sesuai fitrahnya sebagai hamba Allah. Para
wali mendirikan pesantren dan masjid sebagai pusat pendidikan. Dalam prosesnya
para wali memakai cara-cara yang khas dalam membentuk masyarakat yang sesuai
dengan ajaran islam. Bukanlah hal yang mudah untuk merubah budaya yang ada pada
masyarakat saat itu yang dipengaruhi oleh kepercayaan sebelumnya. Sehingga para
wali tidak serta merta langsung menghilangkan budaya yang tidak sesuai dengan
ajaran islam, melainkan dengan jalan mewarnai kebudayaan tersebut dengan nafas
islam. Misalnya mengganti nama dewa-dewa dengan nama malaikat dengan maksud
agar pengaut hindu-budha tertarik dalam ajaran islam.
Hasil Karya
Kreativitas Para Walisanga Sebagai Media Pendidikan
Hasil kreativitas yang digagas oleh para wali
beragam yakni : penggunaan huruf arab untuk menuliskan bahasa jawa yang dikenal
dengan huruf pegon (sampai hari masih dipakai dalam pelajaran agama di kalangan
pesantren), pembuatan syair-syair yang berisi pesan tauhid, tembang-tembang
dolanan anak-anak yang sarat dengan makna, alat musik seperti gamelan, serta
pertunjukan wayang. Sunan Ampel kepada anak-anak didiknya memberikan falsafah
yang terkenal yaitu falsafah mo-limo
atau tidak melakukan hal tercela yaitu : moh
main (tidak berjudi), moh ngombe (tidak
minum atau mabuk), moh maling (tidak
mencuri), moh madat(tidak menghisap
candu), moh madon (tidak mau berzina). Falsafah yang ditanamkan kepada
murid-muridnya ini merupakan tata nilai luhur nusantara yang bersumber dari
etika dan moral dari agama. Mo-limo
kalau ditelaah merupakan perbuatan yang sangat potensial menimpa kehidupan
manusia secara universal. Kalau kita bercermin pada kehidupan hari ini,
kekacauan yang terjadi penyebabnya tidak jauh-jauh dari pebuatan mo-limo. Falsafah mo-limo merupakan pedoman hidup bagi perilaku manusia sehinga akan
tercipta ekspresi budaya untuk tidak saling merugikan satu sama lain. Apa yang
diajarkan oleh Sunan Ampel adalah pembentukan karakter dan akhlak manusia
paling dasar sebagai mahluk berakal, sebab untuk menjalankannya tidak diperlu
ditempuh dengan syarat khusus. Banyak orang kuliah hari ini, namun tetap melakukan
maling, ngombe, main. Tidak
diperlukan belajar sampai tingkat perguruan tinggi untuk tidak mo-limo.
Adapun tembang-tembang dolanan yang dihasilkan para wali yaitu Gundul-gundul pacul, Lir
ilir, E dhayohe teka. Lagu dolanan yang diperuntukan bagi anak-anak bukanlah
sebatas nyanyian. Lagu dolanan tersebut sarat dengan nilai didaktik-religius. Lagu
dolanan gundul-gundul pacul mengajarkan untuk tidak meremehkan amanat yang
diamanahkan banyak orang. Nyunggi-nyunggi
wakul kul, gemelelengan. Wakul diibaratkan sebagai amanat yang diletakkan
diatas segalanya dari kepentingan pribadi. Kalau amanat yang diemban tersebut
dijalankan secara gemelelengan, maka wakul ngglimpang, segane dadi sak latar. Nasi bisa tumpah berceceran diatas tanah,
akibatnya akan ada banyak orang yang tidak makan (tidak mendapat kesejahteraan).
Lagu tembang dolanan lainnya yakni sluku-sluku
bathok yang juga karya para wali, selain mengandung nilai didaktik-religius
juga terdapat makna ergonomis-fisionomi yakni gerakan-gerakan dari lagu sluku-sluku bathok itu dapat mengaktifasi
jaringan syaraf untuk merangsang perkembangan otak anak.
(bersambung)
-----
DAFTAR BACAAN :
Andi Suwirta. 2009. The History of Education in West Java, Indonesia: From Traditional Era
toward Modern Era. International Journal for Educational Studies
Handoko Chandra. 1987. Sikap Pergerakan Nasional Terhadap Sistem Pendidikan Kolonial Kasus “Ordonansi
Sekolah Liar”. Fakultas Sastra UI
Nurbaity.
2006. Pendidikan Nasional Indonesia. FIB UI
Erik Supit : Banawa
Maiyah, Sekar Kebangsaan.
Hawe Setiawan : Bujangga
Manik dan Studi Sunda
Agus Sunyoto :Potensi
di Balik Dolanan Sluku-Sluku Bathok.
Ahmad Rifai : Masyarakat
Nusantara (dulu), Masyarakat Indonesia (kini)