Aug 22, 2014

Pendidikan Dari Zaman ke Zaman (1)




Pendidikan Dari Zaman ke Zaman (1) 
Oleh : Karyadi

 Pendahuluan
Munculnya kebijakan pendidikan oleh Kolonial Belanda terhadap orang Indonesia ditunjukan dengan dirikannya sekolah bagi kalangan pribumi pada petengahan abad ke 19, artinya sudah 114 tahun usia sekolah yang ada di Indonesia – yang menjadi tempat untuk melakukan proses pendidikan. Pertanyaanya, apakah sebelum sistem sekolah yang digagas oleh kolonial itu, bangsa Indonesia tidak bersekolah atau tidak memiliki budaya pendidikan?.
Pada zaman kolonial, dikatakan penduduk pribumi mayoritas mengalami buta huruf, yang dimaksud dengan buta huruf apakah hanya pada huruf alphabet (A, B, C, dst). Apakah tidak diperhitungkan penduduk pribumi yang sudah melek huruf hijaiyah (Alif, Ba, Ta, dst.) atau aksara jawa (Ha na ca ra ka). Kalau dirunut awal munculnya istilah guru dan murid, hal itu sudah ada sebelum kolonial belanda datang. Sebab kata guru berasal dari ajaran hindu-budha artinya adalah kekuatan untuk menghalau kegelapan atau kebodohan dan istilah ‘murid’ berasal dari bahasa arab yakni irrada yang artinya kehendak. Jadi berdasarkan adanya istilah guru dan murid, bangsa Indonesia sudah mengenal sistem pendidikan sebelum sekolah-sekolah diperkenalkan oleh kolonial belanda. Pendidikan pada masa pra kolonial bukanlah dalam bentuk yang formalistik melainkan sebuah bentuk yang membudaya dan menjadi kebudayaan. Proses Penididikan diawali dari interaksi dalam kehidupan keluarga,  interaksi sosial antara individu dengan individu lain, interaksi antara masyarkaat dan individu, interaksi antara masyarakat dan komunitas disekitarnya. 

Pendidikan Masa Hindu-Budha

Pendidikan pra kemerdekaan terbagi menjadi empat periode : Pertma periode Hindu-Budha, Periode Pendidikan Islam, Pendidikan Periode Kolonial Belanda, Pendidikan Periode Pendudukan Jepang.
Pada masa hindu-budha, terdapat sebuah entitas politik, hal ini tercermin dengan berdirinya kerajaan-kerajaan. Untuk mendukung sistem politik tersebut, dibutuhkan lembaga pendukung dan sosialisasi. Salah satunya adalah lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan yang menjadi sarana sosialisasi, menjadikan pendidikan sebagai aktivitas orang atau masyarakat beradab dalam mengembangkan jiwanya. Oleh sebab itu lembaga pendidikan pada masa hindu-budha memberikan pengajaran yang mencakup nilai-nilai, kecakapan hidup atau ketrampilan, dan kepentingan politik dari kerajaan.
Dalam sebuah jurnal (Andi Suwirta, 2009) disebutkan bahwa pendidikan pada masa hindu-budha hanya dapat diikuti oleh kelas tertentu. Sebagaimana kita ketahui bahwa pada masa hindu-budha terdapat pembagian-pembagian kelas yakni Brahmana, Ksatria, Waisa, dan Sudra. Kalangan yang bisa mengikuti pendidikan yang diselenggarakan kerajaan adalah kelas brahmana, ksatria, dan waisa. Namun, jika kita lihat disumber lain bahwa dampak dari masuknya hindu-budha pada pendidikan di Indonesia adalah adanya pengajaran mengenai budi pekerti, nilai-nilai, dan ketrampilan hidup. Jika pada masa hindu-budha yang diajarkan adalah budi pekerti dan nilai-nilai tentunya ini sangat bertentangan jika yang dapat menikmati pendidikan adalah golongan tertentu. Hal ini semestinya menjadi bahan untuk kita telaah kembali apa fungsi sesungguhnya dari sistem pembagian kelas-kelas tersebut?

Salah satu sejarahwan Nusantara, Agus Sunyoto, pernah memaparkan mengenai struktur sosial era Majapahit. Bahwa ada pembagian struktur masyarakat pada era majapahit bukan menggambarkan kelas-kelas atau strata sosial namun pembagian peran dan fungsi masyarakat dalam negara dan keterikatannya pada kepentingan keduniawian. Semakin jauh keterikatan seseorang pada keduniawian semakin tinggi martabat orang tersebut. Sebaliknya semakin dekat dan kuat ketertarikan seseorang pada materil dan keduniawian semakin rendah martabatnya.
Masyarakat tertinggi pada era majapahit adalah kaum rohaniawan yang biasanya juga menjadi budayawan. Mereka hidup ditengah-tengah hutan, gunung-gunung, atau tempat yang jauh dari hiruk pikuk aktivitas keduniawian. Kaum ini disebut brahmana, yang sangat dihormati oleh masyarakat dan tugasnya adalah membimbing masyarakat.

Ksatria adalah mereka yang menjadi abdi negara. Orang-orang ini hidup untuk negara dan dibiayai oleh negara. Jika sehabis berperang mereka membawa harta peperangan, maka harta tersebut adalah milik negara bukan untuk dimiliki secara pribadi. Ksatria yang terlihat oleh masyarakat lebih termahsyur harta kekayaannya akan dikucilkan sebab orang yang mengabdikan diri pada negara harus bersih dari ambisi pribadi. Oleh karena itu raja dan keluarganya, menteri-menteri, adipati, serta tentara-tentara kerajaan adalah termasuk golongan ksatria.

Waisya merupakan lapisan masyarakat yang sudah memiliki keterikatan pada materi keduniawian, seperti memiliki rumah, tanah, sawah, ternak, dan perkebunan Meskipun demikian kedudukan mereka tetap dihormati sebab yang memiliki peran untuk menyediakan pangan kepada warga adalah kaum petani atau waisa.

Sudra yaitu saudagar, para tuan tanah, atau yang memiliki kekayaan berlebih. Pandangan yang berlaku pada masyarakat saat itu, kaum sudra adalah orang-orang yang tidak diperbolehkan untuk menyebarkan agama, karena sangat dikhawatirkan akan memiliki kepentingan pribadi dan orang-orang yang menumpuk kekayaan merupakan manifestasi dari nafsu.

Apabila dilihat dari pembagian peran dan fungsi masyarakat pada era majapahit, pendidikan pada masa hindu-budha bertujuan agar seseorang menjadi mulia sebab yang mengajarkan atau yang boleh berperan dalam membimbing masyarakat adalah brahmana. kaum yang tidak memiliki kepentingan terhadap manifestasi nafsu. Pada masa ini lembaga-lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh negara dilaksanakan di padepokan dengan sistem pengajaran presentasi lisan. Dan terdapat juga lembaga pendidikan di luar patronase raja yakni berada di gunung-gunung dan ditengah hutan. Tempat bagi mereka yang menimba ilmu di tengah hutan atau gunung-gunung disebut ‘ashram’ (asal kata asrama) artinya tempat untuk menempa kehidupan lahir dan batin. yakni melakukan perjalanan atau pengembaraan. Hal ini bisa kita lihat dalam naskah bujangga manik. Dalam naskah tersebut tergambarkan bahwa dalam perjalanan atau pengembaraannya manusia akan mempelajari kebijaksanaan serta membentuk kepribadiannya. Sebab dalam perjalanan pribadi (lalempahan) ia bisa menemukan beragam peristiwa yang harus dihadapi atau disikapi serta juga dapat bertemu dengan pandhita atau kyai untuk belajar sesuatu padanya.

Unit-unit inti penjaga nilai masa hindu-budha

Jauh dari pusat kerajaan hindu-budha terdapat wilayah atau kampung yang disebut wanua. Dalam prasasti-prasasti mataram kuno, wanua memiliki arti kelompok. Dalam prasasti kedukan bukit, wanua dibangun dengan sukacita. Struktur asli desa disebut dengan wanua. Karakteristik wanua adalah sebuah wilayah perkampungan yang mandiri. Yang ingin diungkapkan dalam tulisan ini adalah bahwa unit kecil seperti wanua ini merupakan kekuatan inti dalam membangun peradaban masyarakat. Karena keadaannya jauh dari pusat kekuasaan, memberikan keleluasaan dalam mengembangkan nilai lokal. Meskipun tidak dapat dipungkiri, bahwa nilai-nilai yang berasal dari kelompok sosial yang lebih besar juga berusaha masuk ke dalam wanua. Namun, karena karakter kemandirian yang dibangunnya, tidak membuat serta merta nilai-nilai itu ditelan tanpa daya kunyah. Sehingga terjadilah akulturasi budaya. Peran wanua ketika terjadi keruntuhan kerajaan majapahit adalah sebagai penjaga nilai-nilai keluhuran asli yang telah mengakar. Sebagai unit sosial, wanua merupakan pusat dunia atau kampung asal yang menjadi inti kekuatan untuk membangun peradaban manusia. Proses pendidikan yang terjadi dalam unit wanua adalah proses interaksi sosial yang saling menjaga satu dengan lainnya sehinga membentuk karakter dan perilaku individu.

Unit lainnya yang menjadi inti penjaga nilai pada waktu kerajaan hindu-budha (masa majapahit) adalah mandala. Mandala pada masa itu ada dua maksud yakni bermakna sebagai liga raja-raja atau persatuan kekuasaan politik. Dan makna kedua yaitu lingkungan pertapaan yang dilengkapi dengan asrama (tempat tinggal yang beruguru pada orang suci). Sebelumnya dijelaskan mengenai lembaga pendidikan diluar patronase raja, mandala merupakan unit inti penjaga nilai yang jauh dari kekuasaan yang menjadi institusi pendidikan dan juga berperan penting dalam memilhara nilai-nilai keluhuran ditengah kekacauan situasi. Ada kurang lebih 200 mandala yang terdapat di pulau jawa menjelang keruntuhan majapahit. Keberadaan mandala juga ikut mempengaruhi masyarakat dalam lingkungan kerajaan majapahit, serta dianggap menjadi benteng pertahanan terakhir saat penguasa pusat tak lagi berpegang teguh pada nilai-nilai dan ajaran agama.
Kedua unit yaitu mandala dan wanua pada masa hindu-budha merupakan kekuatan yang menopang peradaban manusia agar tidak mengalami kehancuran total dari ancaman-ancaman invansi internasional untuk mempengaruhi spirit luhur dan nilai-nilai tradisi dan agama. Kalau dilihat dari peran keduanya tentu sangat berhubungan dengan proses pendidikan yakni menyelamatkan manusia dari keterjajahan.


Penidikan Masa Islam
Kedatangan Islam ke Nusantara sudah dimulai pada abad ke-8, pada masa itu Islam belum berkembang pesat. Sebab yang membawa Islam adalah kalangan saudagar. Hal tersebut terjadi karena pada masa hindu-budha, pandangan masyarakat mengenai kaum sudagar (sudra) adalah kalangan yang tidak boleh menyebarkan agama, sebab dikhawatirkan membawa kepentingan yang menguntungkan pribadi. Perkembangan Islam baru terlihat pesat pada abad ke-14 dimana yang membawa Islam adalah dari kalangan pejalan atau walisanga, yakni suatu kwalitas kepribadian manusia yang oleh bangsa Nusanara dijunjung paling tinggi.

Pada masa islam pendidikan berkembang menjadi sistem pesantren yang merupakan inovasi dan improvisasi dari zaman hindu-budha. Para wali yang menyebar agama islam mempergunakan konsep mandala sebagai institusi dakwah dan pendidikan dengan nama pesantren. Pesantren berasal dari kata santri, menurut C.C Berg bahwa istilah pesantren berasal dari istilah “shastri”, yang memiliki arti orang yang ahli dalam kitab agama hindu. Untuk membedakan, maka digunakan kata “santri”, yakni orang yang ahli kitab agama islam. Secara terminologis, pesantren adalah orang yang mempelajari ilmu agama islam. Dalam pendapat lain, menyatakan bahwa pesantren berasal dari bahasa jawa, yaitu dari kata “cantrik”, artinya orang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi menetap.

Dalam sistem pesantren sosok guru merupakan figur sentral yang menjadi panutan muridnya. Dan tempat yang digunakan untuk melakukan pembelajaran adalah surau atau masjid yang menjadi pusat kegiatan. Interaksi yang terjadi pada proses pendidikan pesantren tidak hanya dibatasi oleh hubungan murid dengan guru namun juga terdapat interaksi dengan masyarakat, sehingga pesantren menjadi tempat para murid untuk belajar hidup dan bermasyarakat. Guru atau kyai  dengan murid dalam proses pendidikan memiliki hubungan yang sangat dekat sebab pembelajaran bersifat individual sehingga seorang guru sangat memahami benar kondisi psikologis dan potensi murid.

Peran walisanga dalam pendidikan di nusantara tentu sangat jelas dari misi yang dibawanya yakni membawa nilai-nilai dan ajaran islam yang bertujuan menjadikan manusia sesuai fitrahnya sebagai hamba Allah. Para wali mendirikan pesantren dan masjid sebagai pusat pendidikan. Dalam prosesnya para wali memakai cara-cara yang khas dalam membentuk masyarakat yang sesuai dengan ajaran islam. Bukanlah hal yang mudah untuk merubah budaya yang ada pada masyarakat saat itu yang dipengaruhi oleh kepercayaan sebelumnya. Sehingga para wali tidak serta merta langsung menghilangkan budaya yang tidak sesuai dengan ajaran islam, melainkan dengan jalan mewarnai kebudayaan tersebut dengan nafas islam. Misalnya mengganti nama dewa-dewa dengan nama malaikat dengan maksud agar pengaut hindu-budha tertarik dalam ajaran islam.

Hasil Karya Kreativitas Para Walisanga Sebagai Media Pendidikan
Hasil kreativitas yang digagas oleh para wali beragam yakni : penggunaan huruf arab untuk menuliskan bahasa jawa yang dikenal dengan huruf pegon (sampai hari masih dipakai dalam pelajaran agama di kalangan pesantren), pembuatan syair-syair yang berisi pesan tauhid, tembang-tembang dolanan anak-anak yang sarat dengan makna, alat musik seperti gamelan, serta pertunjukan wayang. Sunan Ampel kepada anak-anak didiknya memberikan falsafah yang terkenal yaitu falsafah mo-limo atau tidak melakukan hal tercela yaitu : moh main (tidak berjudi), moh ngombe (tidak minum atau mabuk), moh maling (tidak mencuri), moh madat(tidak menghisap candu), moh madon (tidak mau berzina). Falsafah yang ditanamkan kepada murid-muridnya ini merupakan tata nilai luhur nusantara yang bersumber dari etika dan moral dari agama. Mo-limo kalau ditelaah merupakan perbuatan yang sangat potensial menimpa kehidupan manusia secara universal. Kalau kita bercermin pada kehidupan hari ini, kekacauan yang terjadi penyebabnya tidak jauh-jauh dari pebuatan mo-limo. Falsafah mo-limo merupakan pedoman hidup bagi perilaku manusia sehinga akan tercipta ekspresi budaya untuk tidak saling merugikan satu sama lain. Apa yang diajarkan oleh Sunan Ampel adalah pembentukan karakter dan akhlak manusia paling dasar sebagai mahluk berakal, sebab untuk menjalankannya tidak diperlu ditempuh dengan syarat khusus. Banyak orang kuliah hari ini, namun tetap melakukan maling, ngombe, main. Tidak diperlukan belajar sampai tingkat perguruan tinggi untuk tidak mo-limo.

Adapun tembang-tembang dolanan yang dihasilkan para wali yaitu Gundul-gundul pacul, Lir ilir, E dhayohe teka. Lagu dolanan yang diperuntukan bagi anak-anak bukanlah sebatas nyanyian. Lagu dolanan tersebut sarat dengan nilai didaktik-religius. Lagu dolanan gundul-gundul pacul mengajarkan untuk tidak meremehkan amanat yang diamanahkan banyak orang. Nyunggi-nyunggi wakul kul, gemelelengan. Wakul diibaratkan sebagai amanat yang diletakkan diatas segalanya dari kepentingan pribadi. Kalau amanat  yang diemban tersebut dijalankan secara gemelelengan, maka wakul ngglimpang, segane dadi sak latar.  Nasi bisa tumpah berceceran diatas tanah, akibatnya akan ada banyak orang yang tidak makan (tidak mendapat kesejahteraan). Lagu tembang dolanan lainnya yakni sluku-sluku bathok yang juga karya para wali, selain mengandung nilai didaktik-religius juga terdapat makna ergonomis-fisionomi yakni gerakan-gerakan dari lagu sluku-sluku bathok itu dapat mengaktifasi jaringan syaraf untuk merangsang perkembangan otak anak.
(bersambung)
-----
DAFTAR BACAAN :
Andi Suwirta. 2009. The History of Education in West Java, Indonesia: From Traditional Era toward Modern Era. International Journal for Educational Studies
Handoko Chandra. 1987. Sikap Pergerakan Nasional Terhadap Sistem Pendidikan Kolonial Kasus “Ordonansi Sekolah Liar”. Fakultas Sastra UI
Nurbaity.  2006. Pendidikan Nasional Indonesia. FIB UI
Erik Supit : Banawa Maiyah, Sekar Kebangsaan.
Hawe Setiawan : Bujangga Manik dan Studi Sunda
Agus Sunyoto :Potensi di Balik Dolanan Sluku-Sluku Bathok.
Ahmad Rifai : Masyarakat Nusantara (dulu), Masyarakat Indonesia (kini)