Sep 6, 2014

Pendidikan Bukan Pasar


Pendidikan Bukan pasar

Zaman walisanga dahulu, ketika sistem pemerintahan berbentuk kerajaan, ada semacam tata pengelolaan sosial yakni : keraton, masjid, dan pasar. Keraton mewakili bentuk otoritas politik, segala bentuk nilai-nilai kemanusian, moral, etika, religiusitas, akhlak, rohani diwakili oleh masjid, dan upaya proses perekonomian diwakili pasar. Ketiga icon ini saling keterkaitan sekaligus menjadi segita pusat interaksi peradaban manusia. Masyarakat sangat paham dimana tempat harus berjualan dan mana tempat yang tidak boleh digelar barang dagangan. Keraton atau kepemerintahan tidak boleh berlaku pasar, demikian juga masjid tidak boleh ada aktivitas yang khusyuk yang bersifat jual-beli. Sebagaimana Rasulullah yang merubah dunia dari masjid. Maka saat itu peran mesjid menjadi sumber dari segala perubahan sejarah.


Dikepung Pasar Riba

Hari ini hampir setiap sisi kehidupan manusia : pendidikan, kebudayaan, politik, kesehatan direndam air riba. Sebab tatanan polaritas kehidupan manusia mengalami perubahan sengat dahsyat. Semua profesi dan wilayah strata sosial hampir semuanya mati-matian menempuh jalan untuk mencapai tingkat ingin kaya. Tatanannya adalah orang kaya - orang berkuasa - orang kuat - orang pandai - orang baik atau mulia. Berbeda ketika zaman hindu-budha hingga walisanga, orang kaya merupakan urutan terendah. Maka pendidikan saat itu bertujuan agar seseorang menjadi mulia. Dalam Al-Qur'an, Allah bilang "iqra warobbukal akram", bacalah dan Tuhanmu lebih mulia. Perintah membaca tidak serta merta diperintahkan oleh Allah, sebab ternyata Allah lebih mulia. Maka hambanya diperintah untuk membaca, supaya yang bersedia memembaca, mengamati apapun, meningkat derajatnya menuju kemulian.

Pasar dan pendidikan adalah wilayah yang tidak boleh berdekatan sepanjang peradaban manusia. Meskipun Rasulullah memang tidak melarang untuk kepasar, tapi segeralah ke mesjid agar manusia tidak hilang kemanusiannya dan menjauhi-Nya. Pasar tidak boleh mempengaruhi dan masuk dalam pendidikan, pendidikan juga bukan untuk diorientasikan untuk pasar. Kalau peristiwa guru digaji, maka itu bukan untuk membayar peristiwa mengajarnya. Tidak bisa dibayangkan akan seperti apa peradaban manusia kalau tujuan menyampaikan ilmu harus dibayar sekian rupiah per jam, sementara Allah menghamparkan ilmu disetiap ruang tanpa menagih manusia untuk kirim deposito, melainkan cinta dan kesetiaan. Atau mungkin ini yang dimaksud "wala tasy-taru bi ayati tsamanan qolila"

***

Kalaupun Indonesia hari ini harus masuk pasar, maka ada beberapa hal yang harus diperhitungkan. Pertama, pasar hari ini bukanlah mekanisme pasar untuk manusia. Kalau yang berlangsung dipasar adalah manusia, kenapa harus sedemikian rupa untuk dipersiapkan. Semestinya tidak ada kekhawatiran jika jual-beli antar manusia. Jika ada pasukan semut sedang membawa makanan, kemudian ditengah jalan ditumpahkan satu kilogram gula, maka pasukan semut tidak akan tergoda untuk mengambil gula yang lebih banyak daripada makanan yang sedang dibawanya. Selayaknya pasar yang dikelola dengan mekanisme manusia, seharusnya mampu menunjukan derajatnya sebagai manusia. Tidak pernah ada hewan yang sudah kenyang, ia mencari mangsa lagi untuk dimakan. Seandainya harus terpaksa masuk pasar dengan mekanisme yang penuh tipu daya, maka kita mesti berjualan dengan prinsip untuk memberi rasa aman kepada manusia. Kedua, pasar hari ini membuat manusia anti tauhid. pertanyaanya bidang apa saja yang tidak masuk mekanisme industri?. Hampir segala bidang masuk dalam industri. Yang membuat peradaban manusia hancur adalah kalau kebudyaan, pendidikan, kesehatan harus dindustrikan. Mengenai pendidikan tidak boleh masuk pasar adalah karena pasar tidak pernah memperhitungkan faktor hakikat kemanusiaan, melainkan faktor produktivitas dan kadar loyalitas kepada rumus industri.  Manusia diarahkan unttuk melakukan perjalanan dengan membelakangi pemilik saham sejati, dengan tidak menomorsatukan-Nya

Taufik Ismail pernah membacakan puisinya, "celupkan jarimu ke lautan, lalu angkatlah. Maka itulah dunia". Rasulullah ketika melakukan perubahan pada umatnya, beliau tinggalkan perdagangan dan perniagaannya. Maka segala pihak terkait dalam pendidikan tidak boleh berlaku pasar sebab yang dibangun adalah manusia untuk menuju "bismi-robbika-ladzi-kholak", lain cerita kalau ingin menghilangkan manusianya untuk menjadi abdi pasar. Kita semua harus mengingatkan kalau dunia yang sudah lonjong ini, sesungguhnya bulat.