Dec 9, 2014

Mengayuh Indonesia Dari Pinggir Anak Sungai Citarum

Ada banyak rakyat yang bekerja begitu keras, mereka berposisi sebagai pemberi upah kepada pemimpin-pemimpin yang sedang duduk dikursi. Sejak pagi buta sebelum subuh mereka harus segera bangun. Ada yang menyiapkan bahan-bahan masakan, menata dan menjajakan sayuran, mendistribusikan garam ke pasar supaya asinnya laut bisa sampai sebagai pelezat makanan orang-orang kota. Disaat rakyat terjaga dari tidurnya, sang pemimpin sebagai pihak yang menerima upah masih tertidur lelap. Rakyat yang baik memang harus senantiasa rajin untuk sholat subuh. Sementata dunia, tidak akan mengizinkan bangsa ini untuk memiliki pemimpin yang rajin sholat subuh, katanya itu akan mengganggu tatanan komposisi secara global.

Mengayuh Indonesia dari pinggir anak sungai citarum. Sungai sepanjang 269 Km yang melintasi 9 kabupaten dan 3 kota. Dari alirannya menghasilkan 1.400 MW listrik dan mengairi 4200 Hektar areal irigasi. Kini tepat kaki berpijak di wilayah bermuaranya aliran sungai bertemu dengan laut jawa. Sepanjang aliran sebelum air sampai di hilir, disuguhkannya hamparan hijau padi-padi yang pada waktunya siap dipanen, menjadi beras di tampah, kemudian sebagai nasi menghuni lambung manusia, demikian pengabdian mulia sang padi agar sampai di pangkuanNya. Dari sawah ladang, beras-beras di pelosok negeri itu berasal. Karawang pernah disebut sebagai lumbung padi nasional, tapi kini dicatat produksinya menurun. Lahan-lahan pertanian mulai digusur, beralih fungsi menjadi pabrik-pabrik industri. 181 hektar per tahun, lahan sawah ladang beralih fungsi. Petani-petani kehilangan lahannya. Sejarah sampai hari ini masih mengisahkan petani hidup dalam keprihatinan. Padahal mereka (al fallah:petani) adalah pihak yang semestinya menemukan al falah (kemenenagan, kebahagian, kemuliaan), namun sampai hari ini petani terus-terusan berpuasa dan belum pernah mengalami idul fitri.

Kalau karawang tanpa Indonesia, ia akan tetap menjadi karawang. Tapi Indonesia tanpa karawang, Indonesia tidak akan ada. Keberadaan aliran sungai citarum, sungai terpanjang dan terbesar di Provinsi Jawa Barat adalah sumber air bagi kehidupan padi-padi. Mestinya memang demikian yang dibangun yakni area irigasi yang menjadi jembatan komunikasi antara air dan padi. Tidak boleh ada yang memutus hubungan air dengan mahluk hidup yang membutuhkan air, kecuali kehendak-Nya. Kalau mau diurut memang sudah sejak lama petani mulai di putus mata rantainya dengan alam. Petani menjadi pihak yang dipaksa harus memakai ini dan itu, supaya hasil panennya begini, semacam ada pihak yang ingin mengontrol pertumbuhan kesedian pangan negeri ini. Kalau harga minyak bisa dikendalikan, maka ia bisa mengendalikan suatu bangsa. Kalau ada pihak yang berhasil mengendalikan ketersediaan pangan, maka ia bisa mengendalikan orang-orang pada suatu bangsa. Tugas manusia bukanlah menunggani mikroba untuk supaya sukses panennya, melainkan berperan sewajarnya agar setiap mahluk bisa saling bersilaturrahim.

Melalui globalisasi dengan bentuk penjajahan melalui perang pemikiran, kini kita sebagai manusia mulai lupa peran, bertindak melebihi batas wajar keinginan, padahal kebutuhannya terbatas. Alam, mikroba, bakteri, dan semua daya hidup punya polanya sendiri, namun ternyata kekuasaan juga punya keinginannya yang khas. Dimanakah batas wajar dan kesadaran norma terhadap sumber daya alam. Interaksi-interaksi manusia dengan mahluk hidup lainnya adalah kesatuan ekosistem yang mesti terjaga keseimbangan hakekatnya. Hari ini, pola komunikasi yang dibangun dan dijunjung bukanlah menjaga kesatuan ekosistem, melainkan egosistem. Ingin unggul dan mengungguli. Laba tetap akan menjadi keuntungan, meskipun ada habitat yang hancur. Industri-industri dibangun untuk berhadapan dengan manusia, alam, lingkungan, dan mahluk hidup lainnya. Padahal Undang-Undang Dasar sangat menjaga dan melindungi kepentingan bagi kemaslahatan. Tapi ternyata pembangunan hilang dari esensinya, mulai menciderai nilai-nilai dasar dan nilai-nilai moral. Untuk kepentingan peningkatan anggaran negara, pendirian pelabuhan yang menggusur puluhan hektar areal persawahan bukan menjadi soal, demikian juga pembukaan hutan untuk lahan perkebunan. Adakah yang sadar kalau ternyata alam dan habitatnya juga memerlukan "anggaran kearifan".

Kalau alam dan habitatnya mengadirkan simbol-simbol, atau isarat-isarat tertentu. Jangan pernah salahkan dan menyebutnya sebagai bencana, sebab memang demikian nalar alamiah alam dan habitatnya atas tindak dan perilaku manusia yang enggan menjaga komunikasi untuk membangun keseimbangan ekosistem. Padi yang menguning tumbuh sebagaimana kodratnya. Manusia dengan kelengkapan akal dan perasaannya kenapa tidak?. Maka kalau timbul abrasi, langkanya ketersedian air bersih, tanah longsor, banjir, dan hewan yang merusak pemukiman, semuanya menandakan ada yang hilang pada diri manusia. Rumus kehidupan manusia dengan lingkungan disekitarnya sederhana yakni : halalan thayyiban. Kalau makan maka ambilah dari bumi ini yang halal sekaligus juga thayyib (pantas, baik, tidak berlebihan)