Dec 16, 2014

Perihal Kesanggupan Menjadi Rakyat

Setelah merapikan berbagai keperluan untuk esok hari. Saya persiapkan tulisan-tulisan yang ditugaskan untuk menjadi syarat mengikuti semacam training kepemimpinan. Kalau melihat sepanjang sejarahnya, kalau simbah tahu besok saya akan mengikuti pelatihan tersebut pastinya ia akan mendampratku. Malam ini saya harus hati-hati mengerjakan tulisan ini. Kalau ada tanda-tanda nafas pergerakan, segera saya sembunyikan kertas-kertas ini. Setiap tulisan yang pernah saya tulis memang saya tidak pernah saya sodorkan kepadanya. Sebab beliau pernah bilang "apa maksudmu membuat tulisan-tulisan tu?", "Apa kamu hendak berbangga diri dengan karyamu itu?"

Entah apa maksud dari pernyataan itu, hingga akhirnya tanpa sengaja saya menemukan terjemahan sebuah ayat Al-Qur'an yang menyatakan : "...janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi.."(49:2). Mungkin ini maksud dibalik pernyataan beliau diatas. Diantara manusia tidak boleh ada yang lebih populer melebihi rasul, apalagi Allah. 

Hampir selesai tulisan dikertas. Tanpa sadar, Simbah hadir dibelakangku. Tak sempat saya selamatkan tulisan-tulisan itu langsung ia bertanya "Apa yang kamu tulis itu?" . Kalau saya jawab sekenanya pun, tidak mungkin saya terhindar dari sergapan-sergapan mata meta rahasianya. Saya jawab apa adanya "ini yai, saya sedang mengerjakan esai". Diambilnya kertas yang berisi tulisan-tulisan itu.

"Apa maksudmu mahasiswa sebagai agent of change?". Justru mahasiswa-lah yang ketika pertama kali melangkahkan kakinya masuk kampus, ia mulai mengingkari dirinya, menggolongkan dirinya sebagai masyarakat intelektual, yang kemudian menemukan dirinya bukan lagi rakyat. "Untuk apa kamu mengerjakan esai ini?"

Setalah beliau tahu maksud dan tujuan saya menuliskan itu semua sebagai syarat mengikuti pelatihan kepemimpinan. Semakin menjadi-jadi ia memaki saya, puncaknya adalah ia meludahi wajah saya. Hal ini sudah saya pahami semacam kemesraan hubungan saya dengannya. Lebih baik menjadi pihak yang diusir, daripada harus mengusir. Dibuang orang lebih asyik daripada harus membuang orang. Diceraikan lebih arif daripada harus menceraikan.

"Training kepemimpinan katamu. Apa maksudmu dengan semua itu?. Siapa diantara kita yang pemimpin? Apa acara yang kamu ikuti itu mengumpulkan calon-calon pemimpin? Memangnya siapa diantara peserta itu yang mengangkat mereka menjadi calon pemimpin? Mana ada pemimpin, apalagi calon pemimpin, yang mengumum-umumkan bahwa dirinya adalah pemimpin? Apakah dengan kamu mengikuti penataran kepemimpinan, kamu akan menjadi pemimpin? Seperti apa metodenya? Apakah ini semacam bentuk kesadaran sosial yang konstruktif, ataukah semacam ''Geerrr", atau sejenis megalomania?"

Tidak ada sepatah katapun yang sanggup saya ajukan untuk mempertahankan diri. Saya hanya terdiam, menundukan wajah dari kalimat-kalimat yang dilontarkannya tersebut. 

Diakhir klimaks dari pernyataan simbah adalah "Syarat terpenting menjadi pemimpin adalah kesanggupan menjalani kehidupan sebagai rakyat, barang siapa sanggup menjadi rakyat yang baik, itulah pemimpin yang baik.  Pemimpin itu. Kalau musim panen datang, kamu harus makan belakangan. Kalau ada musuh menyerang desa, kamu mesti berdiri paling depan untuk menyongsongya. Kalau rumah kebakaran, kamu adalah pihak yang belakangan menyelamatkan diri"