Jan 14, 2015

Dua jam Tiga Puluh menit, Pergi meninggalkan Indonesia



Hari ini((11/01/2015),), kurang lebih dua jam tiga puluh menit, kami pergi tinggalkan Indonesia. Bertemu ia yang mengabdikan dirinya untuk kepentingan masyarakat. Ia bersyukur masih hidup dan dibutuhkan banyak orang.


Ia persilahkan duduk kami berdua (saya dan entah siapa namanya). Saya buka dengan pertanyaan “maaf pak, apa kedatangan kita mengganggu?”. Ia jawab “Sebenarnya saya lagi pusing ini, lagi mencari stok darah B. Dari kemarin belum dapet. Tapi ngga kenapalah”.  Kemudian Ia menanyakan maksud kedatangan kami. Karena saya yang punya ide atas perjalanan ini, maka saya jadi juru bicara. Saya jelaskan maksud dan kedatangan saya, intinya adalah ingin belajar banyak atas apa yang beliau kembangkan. Agak berhati-hati saya menjelaskan, sebab takut ini semacam bualan tanpa tindakan nyata.
“Kalian ngga ada keinginan untuk bangun desa?”.  Dalam hati saya, hal tersebut justru keinginan saya. Saya jawab singkat saja tanpa penjelasan macam-macam yang intinya ingin melakukan itu. Ia menekankan “bantulah saudara-saudara kita, bangun desa”.

Setelah pembukaan diatas, pembicaraan menjadi mengalir. Ia mulai membuka satu-persatu aktivitas yang dilakukannya selama ini. Mulai dari pengembangan alat bahan bakar air, mengurus permintaan darah bagi yang membutuhkan, mendampingi petani untuk bertani secara organik, dan mengatasi masalah air dengan pompa tanpa listrik di pedesaan.  Diujung penjelasannya, saya bertanya “kok bisa sampai mengurusi pertanian pak?”

“Kasih saya waktu lima menit (aslinya 30 menit). Untuk menjelaskan hal itu. Tapi sampeyan siap ngga kalau saya buka?”

Sambil menerka-nerka apa maksudnya. Kami sanggupi syarat tersebut.

Beliau jelaskan bahwa semua bermula ketika ia menolong teman-teman yang anaknya membutuhkan darah karena terkena penyakit kanker. Rata-rata mereka yang terkena kanker adalah usia muda dan anak-anak. Ia perhatikan teman-temanya jatuh miskin, sebab untuk mempertahankan anaknya yang menderita kanker, dijual segala macam barang berharga demi kesehatan sang anak. Singkatnya, ia bertanya pada beberapa dokter, mengenai penyebab penyakit kanker. Ia sangat terkejut atas jawabannya. Penyakit kanker disebabkan karena makanan yang dikonsumsi. Beliau bertanya pada kami “coba apa saja makanan yang ada di meja makan, yang setiap hari dimakan?”. Kami jawab : Nasi, sayuran, dlsb. Ia bilang itu semua sudah tidak organik.

“itu sebabnya saya marah. Semua hasil pertanian kita sudah tidak organik”
Sampai hari ini beliau terus berjuang melakukan perlawanan dengan caranya. Ia pelajari metode penanaman padi secara organik. Melakukan sosialisasi kepada para petani untuk kembali bertani secara organik. Ia tunjukan hitung-hitungan keada kami cara bertani dengan metode organik (SRI) dan konvensional (yang selama ini dilakukan petani), perbandingannya adalah dengan metode SRI modalnya lebih terjangkau dan hasil panen meningkat sepuluh kali lipat.

Revolusi hijau yang dipopulerkan ketika orde baru dengan maksud peningkatan pangan dengan cara pengembangan teknologi budidaya tanam – dari  gerakan tersebut munculah intensifikasi pertanian mencakup : teknik pengolahan lahan, pengaturan irigasi, pemupukan, pemberantasan hama, dan penggunaan bibit unggul. Melalui gerakan itulah pertanian kita dihancurkan, petani kita bertani dengan cara yang salah. Pemakaian pupuk urea, pestisida kimiawi, semuanya serba kimia. Hasilnya memang melimpah, tapi perlahan menghancurkan kesuburan tanah. Zat-zat kimia itu juga terkandung di dalam hasil panen, kemudian masuk kedalam tubuh kita dan menjadi bom waktu yang bisa meledak pada siapapun saja sewaktu-waktu.

“Secara fisik tubuh kita ndak ada masalah. Tapi bagian organ dalam kita yang sedang diserang. Tinggal lihat organ mana yang tidak kuat terhadap serangan zat kimia itu”  pungkas beliau.

Alasan tersebut yang membuat beliau turun ke desa-desa untuk memperbaiki pertanian. Perlawanannya sunyi, ia berangkat dari perlawanan yang radikal yakni berangkat dari akar. Tuturnya “anda itu asyik-asyik aja makan dari hasil pertanian yang petaninya buta huruf, kurang gizi, kehidupannya tidak sejahtera, terlilit hutang. Apa anda akan diam saja?”.

“Saya tanya sama anda mahasiswa yang mungkin masih idealis. Apa kemarin ketika demo supaya bbm tidak naik sampeyan punya solusinya? Mohon maaf apa begitu cara kaum intelektual menyelesaikan masalah (tidak menyiapkan solusi)?"

Atas pernyataan dan penjelasan beliau. Saya terpaut dengan catatan saya. Hari ini kereta waktu membawa saya pada seseorang yang menuturkan kenyataan. Sudah sejak lama petani mulai di putus mata rantainya dengan alam. Petani menjadi pihak yang dipaksa harus memakai ini dan itu, supaya hasil panennya begini, semacam ada pihak yang ingin mengontrol pertumbuhan kesedian pangan negeri ini. Kalau harga minyak bisa dikendalikan, maka ia bisa mengendalikan suatu bangsa. Kalau ada pihak yang berhasil mengendalikan ketersediaan pangan, maka ia bisa mengendalikan orang-orang pada suatu bangsa.*

“Aslinya percaturan kekejaman dunia, motifnya adalah ekonomi. Kalau sebelumnya dunia berhasil memasukan gen hibrida ke Indonesia melalui benih-benih padi, jagung, sayuran, buah, dan hewan yang serba hibrida, yang membuat pertumbuhan dan hidupnya menjadi pendek namun dibuat melimpah. Sehingga siapapun yang mengkonsumsi produk hibrida tersebut akan merubah tatanan gen yang merubah perilakunya juga menjadi hibrida.” **

Saya coba konfirmasi. Biasanya mereka yang mengembangkan energi alternatif akan bergerak secara underground. Setahun yang lalu saya juga pernah diingatkan oleh kakak kelas “hati-hati kar, kalau bisa kamu punya backing orang tentara”. Saya pikir ini hanya omong kosong. Saya agak terperangah, ternyata ancaman-ancaman itu nyata dialami oleh beliau.  Dibalik upayanya dalam mengembangkan energi alternatif dan pertanian organik ada kekuatan kapitalis global yang tidak senang dengan kegiatan yang ia lakukan.

Kalau kita pernah kenal Mbah Nikola Tesla, ia lebih dulu mengalaminya. Project mengalirkan listrik tanpa kabel seketika pendanaannya dihentikan dan hasil penelitiannya tidak pernah dipublikasikan secara terbuka.

Betapa marahnya Ia dengan tata pengelolaan negara Indonesia. “Kemarin ketika pilpres saya tidak memilih. Siapapun yang jadi presiden, saya akan lawan kalau mengancam pertanian kita.”

Sambil menunjuk batas halaman bengkel dengan jalan raya ia nyatakan “Disana negara Indonesia dan disini adalah negeri buaran merdeka. Kemarin baru dua calon presiden saja sudah ribut-ribut. Disini ada empat presiden (bukan calon presiden), kita damai-damai saja.”

Atas ancaman-ancaman , ia bilang “Saya siap mati untuk melawan preman-preman bayaran perusahaan kapitalis itu. Lebih baik saya mati dalam keadaan berjuang dari pada mati dalam keadaan pengecut dan tidak melakukan apa-apa.”

Catatan Seadanya
Dari Negeri Buaran Merdeka
___
*) http://humaberhati.blogspot.com/2014/12/mengayuh-indonesia-dari-pinggir-anak.html
**) http://variabelbebas.org/kuliah-umum-babeh-idin/