Cukup merujuk
UUD 1945 untuk mengetahui tujuan pendidikan nasional. Apabila pondasi itu tidak
dikhianati dalam melakukan proses pendidikan, maka akan terbangun sebuah
bangunan utuh yang mencerminkan tujuan pendidikan nasional. Kalimat
“meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia” demikian yang tertulis
dalam tujuan pendidikan nasional. Sederhananya, pendidikan itu supaya orang
selamat dalam melakukan perjalanan kembali menuju Allah.
Diantara kita
semua pasti paham mengenai tujuan masjid, surau, langgar yang dibangun. Ya,
semua itu dibangun dengan maksud satu hal : sebagai tempat ibadah. Kemudian,
apa maksud dari pembuatan UUD, peraturan, perda, kebijakan, dan lain
sebagainya?. Hidup ini bukankah untuk beribadah. Berarti semua aktivitas
manusia, mesti ditujukan untuk mengabdi kepada Tuhan dan masyarakat. InsyaAllah
semua akan selesai.
Tapi
kenyataannya sistem pendidikan kita tidak pernah selesai. Selalu ada kejadian
pergantian kurikulum, perubahan peraturan, pengumuman kebijakan baru, bahkan
tidak lepas dari pandangan kehendak pasar. Kalau pendidikan berorientasi
ekonomisentris, maka proses pendidikan akan tercerabut dari esensinya.
Nilai-nilai ekonomi tampil lebih utama dari pada kejujuran, akhlak, kebudayaan,
dan kebersamaan. Semua saling berlomba dan berkompetisi, yang penting adalah
bagaimana lulus dengan nilai “sempurna” agar segera memasuki lapangan
pekerjaan.
Pandangan di
masyarakat terhadap pendidikan seorang anak, tidak lain seperti sebuah siklus
tertutup yang selalu berulang pada setiap generasi. Memasuki pintu sekolah –
mengikuti sistematika proses pendidikan sekolah – lulus sesuai standar yang
ditetapkan – memasuki gerbang dunia kerja. Keadaan ini mirip dengan sistem
pendidikan hindia belanda pada masa kolonial. Tapi dalam sejarah pendidkan
Indonesia, Engku Mohammad Sjafei menggagas sekolah alternatif (INS Kayu Tanam)
yang mendidik murid-murid berwatak mandiri, berkemauan, dan bekerja keras.
Sekolah INS Kayu Tanam bersifat non-diploma, artinya murid-murid didorong agar
mampu membuka usaha sendiri dan mandiri, serta melepas ketergantungan akibat
lama terjajah. Kondisi pendidikan hari ini, apakah mengalami kemajuan, kemunduran,
atau barangkali kejumudan?
Pernyataan
“Lulusan yang siap kerja” menghiasi wajah pendidikan kita. Anak-anak siap
dicetak, bagaikan batu-bata yang dicetak dalam molding. Apakah pendidikan sama dengan mencetak batu-bata?. “Jangan meminta buah mangga dari pohon
rambutan tetapi pupuklah pohon mangga itu agar menghasilkan buah yang manis”
Kalimat tersebut adalah pepatah yang diungkapkan oleh Engku Mohammad Sjafei. Setiap
anak memiliki pribadi yang unik, yang selalu menuju proses tumbuh dan
berkembang. Maka perlu lahan yang subur
dan perhatian yang sungguh-sungguh agar tumbuh dan berkembang. Seorang
anak dalam pendidikan bukanlah alat untuk orang lain, yang keberadaanya hanya
menjadi kehendak untuk siap pakai. Tapi keyataannya pendidikan kita belum
sepenuhnya memberi ruang pada anak untuk tumbuh dan berkembang dalam menemukan
jati dirinya. Pendidikan masih menjadi alat untuk hanya memasuki fase membeo,
menirukan, dan menghafalkan.
Atas
target-target yang ditetapkan dan distandarisasi, akhirnya yang utama dalam
pendidikan adalah bagaimana agar seorang anak mampu melampaui target dan
standarisasi yang ditetapkan itu. Anak-anak tidak memiliki akar yang menghujam,
tidak diberi sayap untuk melihat dunia dan belajar menemukan hal-hal baru.
"...kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit," (14:24)
Pada tanaman
yang utuh ada bagian pokok yang mempengarui proses pertumbuhan dan kehidupan
tanaman. Akar yang menghujam ke dalam tanah, membuat tanaman berdiri kokoh
diatas tanah. Melalui akar, tanaman dapat memperoleh nutrisi yang
dibutuhkannya. Pendidikan bagi seorang anak tidak boleh lepas dari akar-nya (tempat
tinggal, lingkungan hidup, dan masyarakatnya). Sebab jika sang anak tak mengenal
kebudayaan dimana ia tinggal, ia akan gagap mejalani kehidupannya bersama
masyarakat. Seperti akar pada tanaman, supaya pohon dapat berdiri kokoh, maka
harus memiliki akar. Demikian juga dengan anak, anak adalah bagian dari lingkungan
dan masyarakatnya, untuk itu ia perlu memahami budayanya.
Sayap melambangkan
kebutuhan bagi seorang anak untuk berkembang dalam mengeksplorasi dirinya. Melalui
sayap, sang anak akan mengepak untuk terbang menjelajah hingga akhirnya menemukan
hal-hal baru. Sebab proses pendidikan adalah kehidupan itu sendiri, sehingga sayap
adalah alat yang melengkapi sang anak untuk melakukan proses penemuan sepanjang
hidupnya terhadap berbagai hal, persoalan apapun yang diperlukan, dibutuhkan serta
penting untuk dikuasainya. Dengan "menemukan" maka peserta didik atau seorang anak
membangun pemahaman dan penguasaan atas pengetahuan yang hakiki dan sejati
tanpa terlepas dari pengaruh kehidupan dan pengalaman dalam kehidupan
keseharian. Ketika seorang anak bermain menyirami jalan yang terik karena sinar
matahari, kemudian sang anak bilang “hore jalannya ndak panas lagi”. Bagi orang
dewasa mungkin itu adalah hal sepele, tapi bagi seorang anak itu adalah proses
belajar, dimana seorang anak menemukan perbedaan panas dan dingin.
Akar dan sayap
bagi seorang anak bukan menjadikan proses pendidikan dengan megalihkan seluruh
pengetahuan yang dimiliki seorang guru kepada murid, melainkan merubah tujuan
belajar : yakni mendorong dan menumbuhkan anak-anak atau peserta didik untuk
memilki keinginan dalam melakukan penemuan sepanjang hidupnya, artinya
pendidikan adalah proses belajar seumur hidup dan tidak berhenti pada jenjang
terentu.