Mar 27, 2015

Akar dan Sayap


Cukup merujuk UUD 1945 untuk mengetahui tujuan pendidikan nasional. Apabila pondasi itu tidak dikhianati dalam melakukan proses pendidikan, maka akan terbangun sebuah bangunan utuh yang mencerminkan tujuan pendidikan nasional. Kalimat “meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia” demikian yang tertulis dalam tujuan pendidikan nasional. Sederhananya, pendidikan itu supaya orang selamat dalam melakukan perjalanan kembali menuju Allah.

Diantara kita semua pasti paham mengenai tujuan masjid, surau, langgar yang dibangun. Ya, semua itu dibangun dengan maksud satu hal : sebagai tempat ibadah. Kemudian, apa maksud dari pembuatan UUD, peraturan, perda, kebijakan, dan lain sebagainya?. Hidup ini bukankah untuk beribadah. Berarti semua aktivitas manusia, mesti ditujukan untuk mengabdi kepada Tuhan dan masyarakat. InsyaAllah semua akan selesai.

Tapi kenyataannya sistem pendidikan kita tidak pernah selesai. Selalu ada kejadian pergantian kurikulum, perubahan peraturan, pengumuman kebijakan baru, bahkan tidak lepas dari pandangan kehendak pasar. Kalau pendidikan berorientasi ekonomisentris, maka proses pendidikan akan tercerabut dari esensinya. Nilai-nilai ekonomi tampil lebih utama dari pada kejujuran, akhlak, kebudayaan, dan kebersamaan. Semua saling berlomba dan berkompetisi, yang penting adalah bagaimana lulus dengan nilai “sempurna” agar segera memasuki lapangan pekerjaan.

Pandangan di masyarakat terhadap pendidikan seorang anak, tidak lain seperti sebuah siklus tertutup yang selalu berulang pada setiap generasi. Memasuki pintu sekolah – mengikuti sistematika proses pendidikan sekolah – lulus sesuai standar yang ditetapkan – memasuki gerbang dunia kerja. Keadaan ini mirip dengan sistem pendidikan hindia belanda pada masa kolonial. Tapi dalam sejarah pendidkan Indonesia, Engku Mohammad Sjafei menggagas sekolah alternatif (INS Kayu Tanam) yang mendidik murid-murid berwatak mandiri, berkemauan, dan bekerja keras. Sekolah INS Kayu Tanam bersifat non-diploma, artinya murid-murid didorong agar mampu membuka usaha sendiri dan mandiri, serta melepas ketergantungan akibat lama terjajah. Kondisi pendidikan hari ini, apakah mengalami kemajuan, kemunduran, atau barangkali kejumudan?

Pernyataan “Lulusan yang siap kerja” menghiasi wajah pendidikan kita. Anak-anak siap dicetak, bagaikan batu-bata yang dicetak dalam molding. Apakah pendidikan sama dengan mencetak batu-bata?. “Jangan meminta buah mangga dari pohon rambutan tetapi pupuklah pohon mangga itu agar menghasilkan buah yang manis” Kalimat tersebut adalah pepatah yang diungkapkan oleh Engku Mohammad Sjafei. Setiap anak memiliki pribadi yang unik, yang selalu menuju proses tumbuh dan berkembang. Maka perlu lahan yang subur  dan perhatian yang sungguh-sungguh agar tumbuh dan berkembang. Seorang anak dalam pendidikan bukanlah alat untuk orang lain, yang keberadaanya hanya menjadi kehendak untuk siap pakai. Tapi keyataannya pendidikan kita belum sepenuhnya memberi ruang pada anak untuk tumbuh dan berkembang dalam menemukan jati dirinya. Pendidikan masih menjadi alat untuk hanya memasuki fase membeo, menirukan, dan menghafalkan.

Atas target-target yang ditetapkan dan distandarisasi, akhirnya yang utama dalam pendidikan adalah bagaimana agar seorang anak mampu melampaui target dan standarisasi yang ditetapkan itu. Anak-anak tidak memiliki akar yang menghujam, tidak diberi sayap untuk melihat dunia dan belajar menemukan hal-hal baru.
"...kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit," (14:24)
Pada tanaman yang utuh ada bagian pokok yang mempengarui proses pertumbuhan dan kehidupan tanaman. Akar yang menghujam ke dalam tanah, membuat tanaman berdiri kokoh diatas tanah. Melalui akar, tanaman dapat memperoleh nutrisi yang dibutuhkannya. Pendidikan bagi seorang anak tidak boleh lepas dari akar-nya (tempat tinggal, lingkungan hidup, dan masyarakatnya). Sebab jika sang anak tak mengenal kebudayaan dimana ia tinggal, ia akan gagap mejalani kehidupannya bersama masyarakat. Seperti akar pada tanaman, supaya pohon dapat berdiri kokoh, maka harus memiliki akar. Demikian juga dengan anak, anak adalah bagian dari lingkungan dan masyarakatnya, untuk itu ia perlu memahami budayanya.

Sayap melambangkan kebutuhan bagi seorang anak untuk berkembang dalam mengeksplorasi dirinya. Melalui sayap, sang anak akan mengepak untuk terbang menjelajah hingga akhirnya menemukan hal-hal baru. Sebab proses pendidikan adalah kehidupan itu sendiri, sehingga sayap adalah alat yang melengkapi sang anak untuk melakukan proses penemuan sepanjang hidupnya terhadap berbagai hal, persoalan apapun yang diperlukan, dibutuhkan serta penting untuk dikuasainya. Dengan "menemukan" maka peserta didik atau seorang anak membangun pemahaman dan penguasaan atas pengetahuan yang hakiki dan sejati tanpa terlepas dari pengaruh kehidupan dan pengalaman dalam kehidupan keseharian. Ketika seorang anak bermain menyirami jalan yang terik karena sinar matahari, kemudian sang anak bilang “hore jalannya ndak panas lagi”. Bagi orang dewasa mungkin itu adalah hal sepele, tapi bagi seorang anak itu adalah proses belajar, dimana seorang anak menemukan perbedaan panas dan dingin.

Akar dan sayap bagi seorang anak bukan menjadikan proses pendidikan dengan megalihkan seluruh pengetahuan yang dimiliki seorang guru kepada murid, melainkan merubah tujuan belajar : yakni mendorong dan menumbuhkan anak-anak atau peserta didik untuk memilki keinginan dalam melakukan penemuan sepanjang hidupnya, artinya pendidikan adalah proses belajar seumur hidup dan tidak berhenti pada jenjang terentu.