Mar 4, 2015

Go Traveling : Sehat di Dalam Sakit


Di dalam kapal dari Pulau pramuka menuju pelabuhan muara angke, saya perhatikan banyak orang disekeliling. Siang itu banyak wisatawan yang akan pulang selepas berlibur, tampak anak-anak muda kita dengan berbagai macam gaya dan budayanya yang tidak ingin tertinggal  dari ukuran-ukuran baru modernitas. Misalnya tindakan berfoto disuatu tempat dengan latar belakang yang menerangkan seseorang sedang berada disuatu tempat. Potret-potret tindakan narsis yang hari ini banyak diperankan bukan hanya oleh anak muda tapi hampir semua usia tua dan muda. Kata “narsis” pernah ditulis pada akhir 70-an oleh Emha Ainun Nadjib di dalam Buku “Indonesia Bagian Dari Desa Saya”. Diungkapkan oleh beliau :

Sehabis bertugas sebulan penuh di desa A teman-teman se-Fakultas, bikin koor yang bertuliskan "Kerja Sosial Fakultas Anu Universitas Ani di desa Ano". Ini suatu kenangam romantis. Dan tatkala tersirat di sini bahwa bagi para mahasiswa ini desa memang sekadar nostalgia romantik belaka, maka terasa kata-kata kaos itu seolah-olah menyatakan bahwa segala-galanyapun pada akhirnya kita kembalikan kepada verbalisme. Secara ekstrem kita lantas punya kesan bahwa subtansi ekspresi kultural kita ini memang terletak pada verbalisme.
Ada yang bilang ini suatu snobbery. Suatu GR (gede rumongso) suatu sikap mental yang narsis. Atau mungkin suatu pertanda samar bahwa "kerja sosial" tidak merupakan kerja yang punya motivasi keterlibatan yang cukup murni dan mendasar serta tepat.

Pola ekspresi “narsis” sudah menjadi hal lumrah dari kegiatan Pariwisata Modern abad 21. Hal ini bisa jadi menunjukan sifat utama dari aktivitas pariwisata modern yakni sebagai hiburan superfisial dan aktivitas tahayul masa silam. Sehabis bekerja keras di alam industrialisme, manusia mulai merasakan kepenatan sehingga perlu adanya  Go Traveling,  yakni melakukan perjalanan mengunjungi pegunungan, pantai, perkebunan, bangunan-bangunan antik. Perjalanan itu dilakukan bukan dimaksud untuk alam itu sendiri melainkan untuk dirinya sendiri. Sehingga muncul aktivitas yang memperlakukan alam sebagai objek. Tak jarang dari aktivitas itu malah membuat kerusakan pada alam. Kalau ditelusuri memang demikian puncak peradaban manusia modern, hanya sampai pada puncak humanisme dan eksistensialisme. Maka, muncul pernyataan yang tidak ilmiah yaitu manusia lahir, karena dan untuk dirinya sendiri, dan mengingkari garis sejarah yang bersumber dari Allah. Padahal, humanisme yang paralel dengan level insaniyah, dapat meningkat ke level abdullah, selanjutnya menyadari fungsinya sebagai khalifah.  Dengan menyadari dirinya sebagai khalifah, maka manusia akan memahami bagaimana memperlakukan alam sebagai mahluk. Sayangnya, dunia pariwisata kita semacam ada garis pemisah antara pariwisata dengan ilmu dan pemahaman yang dikandung oleh agama.

Go Traveling menuju tempat pariwisata untuk memandangi air terjun, pantai, menghirup udara segar, atau menonton pertunjukan budaya masa silam, dengan aktivitas yang demikian dianggap membuat manusia “merasa sehat di dalam sakitnya”. Namun adakah yang bisa menjamin bahwa dengan aktivitas itu akan menjadikan manusia yang tawazun. Akivitas pariwisata kita sepenuhnya adalah berdasarkan kehendak pasar, sehingga kegiatan pariwisata hanya berhenti pada bentuk wadagnya saja. Go Traveling yang memiliki arti melakukan perjalanan, semestinya bukan hanya melakukan perjalanan kultural, melainkan juga melakukan “Perjalanan Kembali” (raji’un). Artinya tempat-tempat pariwisata bukanlah tempat “terminal cinta terakhir”, tetapi sarana untuk mencapai tujuan subtantif yakni kesegaran rohani, menuju perajalanan selanjutnya agar kehidupan tidak sekuler. Bahwa yang bisa sakit bukan hanya jasmani tapi juga rohani.