“Dan
apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan
kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah
tidak menyukai kebinasaan.” (QS. 2:205)
Makanan
yang masuk ke dalam tubuh, terlebih dulu harus dihancurkan dengan cara
dikunyah. Semuanya harus mengikuti alur tahapan yang sistematis sedemikian rupa
untuk diolah menjadi sari-sari makanan yang dibutuhkan oleh tubuh. Dalam hal
yang tepat kehancuran itu diperlukan. Padi ditumbuk di dalam lesung, agar bisa
hijrah menjadi beras. Gunung api
mengeluarkan lahar dan abu vulkanik, sesudahnya akan menyuburkan wilayah yang
dilewatinya. Ada yang tumbuh setelah kehancuran. Maka hancurkanlah sesuatu yang
memang dikehendaki kehancurannya.
Keadaan
kita hari ini dihadapkan bukan pada kehancuran yang menumbuhkan, melainkan
kehancuran yang merusak. Diantara kita semua, hampir kebanyakan tak menyadari
bahwa dirinya sedang sakit. Riba-riba yang kita hadapi bukan hanya tentang
bunga bank maupun BPJS, tapi jauh lebih dari itu. Proses yang merusak, parasit,
eksploitasi, adalah riba-riba yang juga melingkari kehidupan kita. Barangkali,
kita begitu asyik menikmati makanan yang
kita makan sehari-hari. Halalan thayyiban.
Untuk memperoleh makanan ambilah dari bumi ini yang halal sekaligus thayyib.
Rusaknya makanan dilihat dari dua hal yaitu cara perolehan dan zatnya. Ditengah
keasyikan itu pernahkah bertanya bagaimana proses terjadinya makanan itu ?.
Maksud saya, dari bahan-bahan apa saja makanan itu berasal? Apakah bahan
bakunya dari bibit yang sudah dimodifikasi genetikalnya ? Daging yang
dikonsumsi apa benar ia berasal dari hewan ternak yang diberi makan
rerumputan?.
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, memungkinkan manusia untuk mengutak-atik genetikal
benih tanaman. Misalnya, untuk membuat benih kedelai yang tahan terhadap gulma,
benih kedelai disisipkan dengan bakteri tanah Agrobacterium tumefaciens yang resistan terhadap bahan kimia
beracun, glisofat. Benih hasil rekayasa genetikal atau GMO (Genetically
Modified Organism) menjadikan benih-benih tak jelas genealogy-nya. Sebab segala gen dari berbagai spesies bisa dengan
mudah di cut and paste pada sebuah
benih. Jika demikian siapa yang menjamin bahwa hasil rekayasa genetikal manusia
memiliki kesempurnaan? Allah ciptakan alam semesta dengan kesempurnaan
perangkat dan segala fasilitasnya. Manusia diminta untuk tidak melakukan
kecurangan dan merusak keseimbangan (Ar Rahman:9). Ayat Al-Quran diawal tulisan ini sangat
terang memberikan infomrasi bahwa akan ada manusia yang berbuat kerusakan pada
tanaman-tanaman dan binatang ternak.
Pada
1970 Henry Kesinger pernah menyatakan : “Apabila harga minyak bisa
dikendalikan, maka bisa mengendalikan suatu bangsa. Dan jika ada pihak yang
mampu mengendalikan ketersedian pangan, maka bisa mengendalikan orang-orang
pada suatu bangsa.” Benih-benih komersil hasil GMO hanya dapat dipakai sekali
panen, artinya apabila menguasai benih maka hasil pangan pun dapat
dikendalikan. Beberapa negara seperti Swiss dan Bulgaria telah melarang semua
tanaman GMO. Bahkan pada tahun 1997 industri asuransi di Eropa sudah mewaspadai
resiko makanan GMO, sehingga membuat pengecualian resiko yang diakibatkan langsung maupun tidak
langsung dari tanaman GMO dan diseluruh Eropa ada oposisi konsumen yang luas
pada produk GMO. Bagaimana dengan Indonesia?. Produk-produk makanan transgenic
(GMO) yang dilarang dan diregulasi secara ketat dibeberapa negara, justru di
Indonesia dapat dengan mudah dijumpai, hal yang paling dekat ada pada makanan
yang sering dikonsumsi yaitu tahu dan tempe. Dimana untuk memenuhi bahan baku
pembuatan tempe dan tahu, Indonesia masih harus impor kedelai. Kedelai
transgenik asal Amerika masih mewarnai pasar domestik dan dijual bebas tanpa
diberi penanda khusus. Padahal keamanaan pangan hasil transgenik masih belum
bisa dibuktikan secara ilmiah, kalau pun ada publikasi mengenai keamanan pangan
transgenik sifatnya masih eksklusif dan sulit dipahami oleh orang awam, bahkan
cenderung menggunakan pendekatan penyederhanaan.
Kerusakan
lain yang kita hadapi juga terdapat pada hewan ternak. Dimana pakan ternak yang
berasal dari tepung darah mudah didapatkan di dalam negeri. Bukankah darah
adalah najis? Bagaimana jika binatang ternak yang semula halal, kemudian diberi
makan berupa makanan najis?. “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari mengkonsumsi hewan jalalah dan susu
yang dihasilkan darinya.” (HR. Abu Daud no. 3785 dan At Tirmidzi no. 1824.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dunia
sedang dikuasai oleh orang lain. Cara penghancurannya begitu canggih, bahkan
sekelompok orang dengan perkembangan teknologi gelombang elektromagnetik mampu
mengendalikan cuaca sebuah negara. Karena desain cuaca ini, akhirnya bisa
membuat siapa saja bertindak dengan sistem yang terikat oleh mereka yang
merekayasa cuaca. Apabila tak memahami keadaan ini, maka bisa terjadi “masuk
angin”. Sampai disini, saya berujung pada pertanyaan :”Bagaimana cara
melawannya?”. Ini pertanyaan yang sulit saya jawab, sebab tidak akan terjawab
jika tak melakukan apa-apa, yang kita hadapi adalah skenario besar kerusakan
yang begitu luas. Kerusakan yang terjadi dalam struktur global tak cukup
dihadapi dengan strategi bumi, tapi juga mesti dihadapi dengan strategi
langit-bumi. Sebagaimana posisi umat Islam saat perang badar – secara rasio
ilmu militer jumlah pasukan umat Islam sebanyak 300-317 tak mungkin menang
menghadapi pasukan Abu Sufyan yang berjumlah 1000 prajurit. Menghadapi keadaan
itu, Rasulullah memakai strategi langit-bumi, bahwa kemenangan hanya dari Allah.
Rasulullah yakin Allah menyayangi dan membela umat yang cinta dan setia
kepada-Nya.
Disaat
pencapaian ilmu manusia masih mengandung dzon,
belum final dan mesti terus-menerus dicari kebenarannya, maka Al-Qur’an adalah
tawaran-tawaran Allah bagi umat manusia sebagai strategi langit-bumi dalam menghadapi
kerusakan-kerusakan yang sedang dihadapi. Dibagian bumi yang kering dan gersang
(QS. 41:39) pun kita bisa memulainya. Kita bisa memulai dari yang kita pahami
untuk melawan kerusakan-kerusakan. Atau kita diam dan rela menikmati kerusakan,
membiarkan mereka yang melakukan kerusakan untuk menang. Tanaman-tanaman tebu
yang disertakan dalam tulisan ini bisa jadi cermin, ketika zaman VOC tinggi
tanaman tebu bisa tiga kali tinggi badan petani yang memanennya, namun hari ini
tinggi tanaman tebu mengalami penurunan. Jika tak ada yang bergerak untuk
memulainya, dalam jangka waktu tertentu tanaman tebu bisa setinggi lutut.
Begitu juga dengan kerusakan lingkungan yang terjadi hari ini, bisa saja pencemaran
yang terjadi di teluk Jakarta meluas sampai ke wilayah gugusan pulau Kepulauan
Seribu, jika tidak ada yang memulai memperbaikinya.
Tinggi tanaman Tebu jaman belanda dan hari ini |