Aug 25, 2015

Menikmati Kerusakan

“Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.” (QS. 2:205)

Makanan yang masuk ke dalam tubuh, terlebih dulu harus dihancurkan dengan cara dikunyah. Semuanya harus mengikuti alur tahapan yang sistematis sedemikian rupa untuk diolah menjadi sari-sari makanan yang dibutuhkan oleh tubuh. Dalam hal yang tepat kehancuran itu diperlukan. Padi ditumbuk di dalam lesung, agar bisa hijrah menjadi beras.  Gunung api mengeluarkan lahar dan abu vulkanik, sesudahnya akan menyuburkan wilayah yang dilewatinya. Ada yang tumbuh setelah kehancuran. Maka hancurkanlah sesuatu yang memang dikehendaki kehancurannya.

Keadaan kita hari ini dihadapkan bukan pada kehancuran yang menumbuhkan, melainkan kehancuran yang merusak. Diantara kita semua, hampir kebanyakan tak menyadari bahwa dirinya sedang sakit. Riba-riba yang kita hadapi bukan hanya tentang bunga bank maupun BPJS, tapi jauh lebih dari itu. Proses yang merusak, parasit, eksploitasi, adalah riba-riba yang juga melingkari kehidupan kita. Barangkali, kita begitu asyik menikmati  makanan yang kita makan sehari-hari. Halalan thayyiban. Untuk memperoleh makanan ambilah dari bumi ini yang halal sekaligus thayyib. Rusaknya makanan dilihat dari dua hal yaitu cara perolehan dan zatnya. Ditengah keasyikan itu pernahkah bertanya bagaimana proses terjadinya makanan itu ?. Maksud saya, dari bahan-bahan apa saja makanan itu berasal? Apakah bahan bakunya dari bibit yang sudah dimodifikasi genetikalnya ? Daging yang dikonsumsi apa benar ia berasal dari hewan ternak yang diberi makan rerumputan?.
  
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, memungkinkan manusia untuk mengutak-atik genetikal benih tanaman. Misalnya, untuk membuat benih kedelai yang tahan terhadap gulma, benih kedelai disisipkan dengan bakteri tanah Agrobacterium tumefaciens yang resistan terhadap bahan kimia beracun, glisofat. Benih hasil rekayasa genetikal atau GMO (Genetically Modified Organism) menjadikan benih-benih tak jelas genealogy-nya. Sebab segala gen dari berbagai spesies bisa dengan mudah di cut and paste pada sebuah benih. Jika demikian siapa yang menjamin bahwa hasil rekayasa genetikal manusia memiliki kesempurnaan? Allah ciptakan alam semesta dengan kesempurnaan perangkat dan segala fasilitasnya. Manusia diminta untuk tidak melakukan kecurangan dan merusak keseimbangan (Ar Rahman:9).  Ayat Al-Quran diawal tulisan ini sangat terang memberikan infomrasi bahwa akan ada manusia yang berbuat kerusakan pada tanaman-tanaman dan binatang ternak.

Pada 1970 Henry Kesinger pernah menyatakan : “Apabila harga minyak bisa dikendalikan, maka bisa mengendalikan suatu bangsa. Dan jika ada pihak yang mampu mengendalikan ketersedian pangan, maka bisa mengendalikan orang-orang pada suatu bangsa.” Benih-benih komersil hasil GMO hanya dapat dipakai sekali panen, artinya apabila menguasai benih maka hasil pangan pun dapat dikendalikan. Beberapa negara seperti Swiss dan Bulgaria telah melarang semua tanaman GMO. Bahkan pada tahun 1997 industri asuransi di Eropa sudah mewaspadai resiko makanan GMO, sehingga membuat pengecualian  resiko yang diakibatkan langsung maupun tidak langsung dari tanaman GMO dan diseluruh Eropa ada oposisi konsumen yang luas pada produk GMO. Bagaimana dengan Indonesia?. Produk-produk makanan transgenic (GMO) yang dilarang dan diregulasi secara ketat dibeberapa negara, justru di Indonesia dapat dengan mudah dijumpai, hal yang paling dekat ada pada makanan yang sering dikonsumsi yaitu tahu dan tempe. Dimana untuk memenuhi bahan baku pembuatan tempe dan tahu, Indonesia masih harus impor kedelai. Kedelai transgenik asal Amerika masih mewarnai pasar domestik dan dijual bebas tanpa diberi penanda khusus. Padahal keamanaan pangan hasil transgenik masih belum bisa dibuktikan secara ilmiah, kalau pun ada publikasi mengenai keamanan pangan transgenik sifatnya masih eksklusif dan sulit dipahami oleh orang awam, bahkan cenderung menggunakan pendekatan penyederhanaan.

Kerusakan lain yang kita hadapi juga terdapat pada hewan ternak. Dimana pakan ternak yang berasal dari tepung darah mudah didapatkan di dalam negeri. Bukankah darah adalah najis? Bagaimana jika binatang ternak yang semula halal, kemudian diberi makan berupa makanan najis?. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari mengkonsumsi hewan jalalah dan susu yang dihasilkan darinya.” (HR. Abu Daud no. 3785 dan At Tirmidzi no. 1824. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Dunia sedang dikuasai oleh orang lain. Cara penghancurannya begitu canggih, bahkan sekelompok orang dengan perkembangan teknologi gelombang elektromagnetik mampu mengendalikan cuaca sebuah negara. Karena desain cuaca ini, akhirnya bisa membuat siapa saja bertindak dengan sistem yang terikat oleh mereka yang merekayasa cuaca. Apabila tak memahami keadaan ini, maka bisa terjadi “masuk angin”. Sampai disini, saya berujung pada pertanyaan :”Bagaimana cara melawannya?”. Ini pertanyaan yang sulit saya jawab, sebab tidak akan terjawab jika tak melakukan apa-apa, yang kita hadapi adalah skenario besar kerusakan yang begitu luas. Kerusakan yang terjadi dalam struktur global tak cukup dihadapi dengan strategi bumi, tapi juga mesti dihadapi dengan strategi langit-bumi. Sebagaimana posisi umat Islam saat perang badar – secara rasio ilmu militer jumlah pasukan umat Islam sebanyak 300-317 tak mungkin menang menghadapi pasukan Abu Sufyan yang berjumlah 1000 prajurit. Menghadapi keadaan itu, Rasulullah memakai strategi langit-bumi, bahwa kemenangan hanya dari Allah. Rasulullah yakin Allah menyayangi dan membela umat yang cinta dan setia kepada-Nya.


Tinggi tanaman Tebu jaman belanda dan hari ini

Disaat pencapaian ilmu manusia masih mengandung dzon, belum final dan mesti terus-menerus dicari kebenarannya, maka Al-Qur’an adalah tawaran-tawaran Allah bagi umat manusia sebagai  strategi langit-bumi dalam menghadapi kerusakan-kerusakan yang sedang dihadapi. Dibagian bumi yang kering dan gersang (QS. 41:39) pun kita bisa memulainya. Kita bisa memulai dari yang kita pahami untuk melawan kerusakan-kerusakan. Atau kita diam dan rela menikmati kerusakan, membiarkan mereka yang melakukan kerusakan untuk menang. Tanaman-tanaman tebu yang disertakan dalam tulisan ini bisa jadi cermin, ketika zaman VOC tinggi tanaman tebu bisa tiga kali tinggi badan petani yang memanennya, namun hari ini tinggi tanaman tebu mengalami penurunan. Jika tak ada yang bergerak untuk memulainya, dalam jangka waktu tertentu tanaman tebu bisa setinggi lutut. Begitu juga dengan kerusakan lingkungan yang terjadi hari ini, bisa saja pencemaran yang terjadi di teluk Jakarta meluas sampai ke wilayah gugusan pulau Kepulauan Seribu, jika tidak ada yang memulai memperbaikinya.