Menjelang
adzan magrib di sebuah warung lesehan, tampak disudut warung ada aktivitas
seorang anak sedang menulis susunan kalimat yang disalin sebanyak 20 kali. Kemungkinan
untuk melatih kerapihan menulisnya. Sesudah ba'da maghrib sang anak masih mengerjakan
tugas sekolahnya dan televisi didekatnya juga dalam keadaan "on" pada salah satu channel yang
menampilkan film animasi, yang adegannya ada anak kecil dan dua orang dewasa
yang selalu bersama, dan biasanya dipuncaki dengan nasihat dari pak haji.
Film yang sasaran penontonnya adalah anak-anak, tampil pada rentang waktu yang disebut prime time. Dimana pada jam 17.00 sampai 20.00 adalah waktu puncak dengan penonton terbanyak. Secara industri merupakan harga termahal bagi pembuat acara di televisi. Tentu dengan peluang tersebut, banyak sponsor yang ingin produknya dilihat oleh penonton. Dan akan menjadi untung besar bagi produser yang membuat acara di rentang waktu tersebut. Penonton menjadi semacam objek sasaran dari barang dagangan industri televisi untuk menguasai pasar.
Dari peristiwa tersebut, teringat kisah Kang Kanip pada buku “Indonesia Bagian Dari Desa
Saya". Tulisan yang berjudul "Nonton Pisyi", mengisahkan Kang
Kanip baru pulang merantau dari Kota Surabaya dengan membawa bermacam barang
bawaan. Diantara barang-barang itu ada sebuah kotak dengan cermin cembung yang
menjadi daya tarik bagi penduduk di kampungnya. Tak ketinggalan, Anak-anak
kecil yang berkerumun di sekitar rumah Kang Kanip tiba-tiba merasa
terheran-heran dengan kotak tersebut. Secara alamiah anak-anak langsung
menyatakan “Gambar hidup! Gambar hidup!”. Kang Kanip segera merespon kejadian
tersebut “ini bukan gambar hidup, ini tilivisi”. Anak-anak pun langsung
terperangah, “Oo! Pisyi!”. Semenjak itu, suasana di desa ketika malam hari ada yang berbeda,
kesibukan anak-anak jadi lain. Semua berkerumun di rumah Kang Kanip. Biasanya
setiap malam jum’at di desa ada tradisi dzibaan
(pembacaan sholawat) yang diikuti
anak-anak desa, tapi sesudah “pisyi” masuk kampung mulai banyak yang tak hadir.
Kisah diatas
sebuah sejarah dan refleksi Emha tahun 70-an. Kondisi yang ditulis adalah apa
adanya tanpa manipulasi. Ada semacam tabrakan antara kesiapan budaya
masayarakat dengan arus globalisasi. Kalau disandingkan dengan hari ini tentu
perubahannya semakin parah dan meluas. Setidaknya pada generasi 90-an anak-anak masih mengalami peristiwa bermain petak umpet, bentengan, gobak
sodor, engkek, ular naga. Di waktu prime time ketika itu, anak-anak mengisi
waktunya dengan mengaji, belajar, dan bermain dengan teman sebaya. Permainan
yang disebutkan diatas, mesti diselesaikan dengan ketangkasan, kerjasama tim,
dan strategi. Ada semacam proses latihan kepemimpinan. Anak-anak harus sigap
mengambil keputusan untuk melindungi rekannya yang satu tim untuk menghadapi
tim lawan.
Semakin
hari, ternyata pendidikan kita tak mampu membendung arus informasi yang terus menggerus budaya masyarakat. Titik
terparahnya ada pada kerusakan akhlak dan moral generasi muda. Dimana sikap
ketidakwajaran dan menyimpang lewat begitu saja karena masyarakat sebagai
kontrol sosial semakin hari makin permisif. Kemudahan mengakses aliran informasi
tak lantas kemudian kita disebut sebagai sumber informasi. Sebab sebanyak
apapun informasi diakses, ternyata itu malah menjadikan kita sebagai konsumen
informasi. Manusia lebih gampang diarahkan dan diseragamkan cara berpikir dan
perilakunya.
Foto :Dok. Yusron Aminulloh |
Pada industri
acara televisi. Sempatkah berpikir sedemikian mendalam, mengenai acara-acara
yang diselenggarakannya pada waktu prime
time atau diluar waktu prime time.
Barangkali satu sampai dua langkah kedepan telah dipikirkan. Namun acara-acara
yang menyebabkan kerusakan pola pikir yang massive mengapa lewat untuk
dipertimbangkan? Yang menjadi target
adalah cukup rating yang tinggi dan keuntungan yang besar. Banyaknya jumlah
penonton menjadi yang utama meskipun dengan cara itu harus merendahkan martabat
manusia, pengerdilan psikologis, dan pembodohan cara berpikir. Lihat bagaimana
acara televisi memperlakukan kebudayaan. Budaya menjadi komoditas yang
direndahkan. Tidak jarang penampilan karakter orang yang menggunakan bahasa dan
logat jawa biasanya diploting untuk berperan sebagai pembantu. Keluhuran budi
dan kecerdasan pendahulu kita perlahan terkubur. Sebab tidak menguntungkan bagi
Industri televisi.
Halus dan
mematikan cara berpikir, begitulah industri berpikir melakukannya.