Nov 8, 2015

25 Langkah ke Belakang dan 25 Langkah ke Depan


Menjelang adzan magrib di sebuah warung lesehan, tampak disudut warung ada aktivitas seorang anak sedang menulis susunan kalimat yang disalin sebanyak 20 kali. Kemungkinan untuk melatih kerapihan menulisnya. Sesudah ba'da maghrib sang anak masih mengerjakan tugas sekolahnya dan televisi didekatnya juga dalam keadaan "on" pada salah satu channel yang menampilkan film animasi, yang adegannya ada anak kecil dan dua orang dewasa yang selalu bersama, dan biasanya dipuncaki dengan nasihat dari pak haji.

Film yang sasaran penontonnya adalah anak-anak, tampil pada rentang waktu yang disebut prime time. Dimana pada jam 17.00 sampai 20.00 adalah waktu puncak dengan penonton terbanyak. Secara industri merupakan harga termahal bagi pembuat acara di televisi. Tentu dengan peluang tersebut, banyak sponsor yang ingin produknya dilihat oleh penonton. Dan akan menjadi untung besar bagi produser yang membuat acara di rentang waktu tersebut. Penonton menjadi semacam objek sasaran dari barang dagangan industri televisi untuk menguasai pasar.

Dari peristiwa tersebut, teringat kisah Kang Kanip pada buku “Indonesia Bagian Dari Desa Saya". Tulisan yang berjudul "Nonton Pisyi", mengisahkan Kang Kanip baru pulang merantau dari Kota Surabaya dengan membawa bermacam barang bawaan. Diantara barang-barang itu ada sebuah kotak dengan cermin cembung yang menjadi daya tarik bagi penduduk di kampungnya. Tak ketinggalan, Anak-anak kecil yang berkerumun di sekitar rumah Kang Kanip tiba-tiba merasa terheran-heran dengan kotak tersebut. Secara alamiah anak-anak langsung menyatakan “Gambar hidup! Gambar hidup!”. Kang Kanip segera merespon kejadian tersebut “ini bukan gambar hidup, ini tilivisi”. Anak-anak pun langsung terperangah, “Oo! Pisyi!”. Semenjak itu, suasana  di desa ketika malam hari ada yang berbeda, kesibukan anak-anak jadi lain. Semua berkerumun di rumah Kang Kanip. Biasanya setiap malam jum’at di desa ada tradisi dzibaan (pembacaan  sholawat) yang diikuti anak-anak desa, tapi sesudah “pisyi” masuk kampung mulai banyak yang tak hadir.

Kisah diatas sebuah sejarah dan refleksi Emha tahun 70-an. Kondisi yang ditulis adalah apa adanya tanpa manipulasi. Ada semacam tabrakan antara kesiapan budaya masayarakat dengan arus globalisasi. Kalau disandingkan dengan hari ini tentu perubahannya semakin parah dan meluas. Setidaknya pada generasi 90-an anak-anak masih mengalami peristiwa bermain petak umpet, bentengan, gobak sodor, engkek, ular naga. Di waktu prime time ketika itu, anak-anak mengisi waktunya dengan mengaji, belajar, dan bermain dengan teman sebaya. Permainan yang disebutkan diatas, mesti diselesaikan dengan ketangkasan, kerjasama tim, dan strategi. Ada semacam proses latihan kepemimpinan. Anak-anak harus sigap mengambil keputusan untuk melindungi rekannya yang satu tim untuk menghadapi tim lawan.

Semakin hari, ternyata pendidikan kita tak mampu membendung arus informasi yang terus menggerus budaya masyarakat. Titik terparahnya ada pada kerusakan akhlak dan moral generasi muda. Dimana sikap ketidakwajaran dan menyimpang lewat begitu saja karena masyarakat sebagai kontrol sosial semakin hari makin permisif. Kemudahan mengakses aliran informasi tak lantas kemudian kita disebut sebagai sumber informasi. Sebab sebanyak apapun informasi diakses, ternyata itu malah menjadikan kita sebagai konsumen informasi. Manusia lebih gampang diarahkan dan diseragamkan cara berpikir dan perilakunya.

Foto :Dok. Yusron Aminulloh
Dua bulan lalu di Sekolah SMK Global, Menturo diadakan kegiatan “Ta’dib Pesantren PadhangMbulan”. Hal menarik yang diselenggaraan dalam kegiatan tersebut adalah Emha melatih tentang disiplin cara berpikir. Ta’dib yang dimaksud dalam kegiatan ini adalah semacam proses penyusunan kurikulum. Namun bukan berangkat dari teks kurikulum yang dipahami oleh institusi pendidikan umumnya. Semua terlibat dalam proses ta’dib atau pengajaran bersama sebagai pelaku-pelaku ijtihad. Peserta ta’dib diminta untuk mencari 25 kata ke depan  dan 25 kata ke belakang dari satu kata. Misal, dicontohkan oleh Emha kata “Kayu”. Kata ke depan yaitu “meja”, kemudian “toko mebel”, kata kedepannya lagi “penggusuran toko”. Dari penggusuran selanjutnya muncul kejadian berikutnya yaitu demo, pengangguran, kelaparan, dan seterusnya. Untuk kata ke belakang dari kata “kayu” ditarik kebelakang, muncul “pohon”, dari pohon selanjutnya ada “hutan”, kemudian “kebakaran hutan”. Dari kebakaran hutan, kenapa terbakar ? ditemukan “pembukaan lahan”. Kenapa bisa terjadi pembukaan lahan? Karena “politik”. Dan seterusnya. Dari proses elaborasi tersebut banyak kemungkinan yang muncul dan terjadi. Disinilah peserta belajar untuk mengurai dengan kecerdasan, ketelitian, dan kejelian untuk mengurai sebuah masalah. Seperti bermain catur, untuk melangkah perlu bertindak hati-hati dan berpikir tidak hanya satu langkah kedepan, tapi 4 sampai 5 langakah selanjutnya. Demikian juga dalam kehidupan, sebelum melakukan satu gerakan, maka kita perlu berpikir ratusan langkah agar memahami sebab dan akibat yang akan terjadi dari satu langkah gerakan. Maka, gerakan satu langkah tadi bisa menjadi langkah yang jitu dan tidak mudah dipatahkan.

Pada industri acara televisi. Sempatkah berpikir sedemikian mendalam, mengenai acara-acara yang diselenggarakannya pada waktu prime time atau diluar waktu prime time. Barangkali satu sampai dua langkah kedepan telah dipikirkan. Namun acara-acara yang menyebabkan kerusakan pola pikir yang massive mengapa lewat untuk dipertimbangkan?  Yang menjadi target adalah cukup rating yang tinggi dan keuntungan yang besar. Banyaknya jumlah penonton menjadi yang utama meskipun dengan cara itu harus merendahkan martabat manusia, pengerdilan psikologis, dan pembodohan cara berpikir. Lihat bagaimana acara televisi memperlakukan kebudayaan. Budaya menjadi komoditas yang direndahkan. Tidak jarang penampilan karakter orang yang menggunakan bahasa dan logat jawa biasanya diploting untuk berperan sebagai pembantu. Keluhuran budi dan kecerdasan pendahulu kita perlahan terkubur. Sebab tidak menguntungkan bagi Industri televisi.

Halus dan mematikan cara berpikir, begitulah industri berpikir melakukannya.