Suasana malam itu terasa hening di hati. Setelah pengajian anak-anak di rumah seorang guru. Kami semua yang ada diruang itu pun
bercerita peristiwa menghadapi anak-anak yang tadi mengaji. Biasanya pengajian
diadakan di ruang sekolah taman kanak-kanak. Tapi karena guru yang biasa
mengajar sedang kurang sehat, pengajian dipindah ke rumah Ibu Mahariah. Ditengah perbincangan malam itu ada cuplikan cerita tentang ijazah yang diberikan kepada Ibu Mahariah ketika di pesantren dulu.
“Ijazah-nya cuma satu yang diberikan oleh Abah di pesantren. Sesibuk apapun, harus mengajar ngaji” –Ibu Mahariah
Tutur itu yang saya rekam untuk tulisan ini.
Kejadian aslinya ingin netesin air mata. Oleh sebab bentuk ijazah yang tidak pernah saya duga, dalam dan sarat makna. Selama ini dunia pendidikan kita hanya mengenal ijazah semacam selembar kertas dengan angka-angka, yang entah apakah
paralel atau tidak dengan sikap dan perilaku bagi yang memperolehnya. Akhirnya ramai-ramai kita percayai bahwa selembar kertas itu adalah rukun iman masa depan.
Sejarahnya. Ijazah diberikan oleh kalangan kyai kepada
santri yang sudah dianggap pantas untuk mencapai suatu level dan dia diberikan
kepercayaan untuk mengerjakan pekerjaan yang lebih tinggi atau lebih besar. Kemudian
dunia sekolah yang kapitalistik merebut kata “ijazah”, yang seolah-olah berasal
dari mereka. Semenjak itu, dunia pendidikan fokusnya adalah memproduksi “ijazah”,
bukan membangun seseorang menjadi cendikia. Padahal zaman terus bergerak dan
berubah, sementara ijazah yang berupa selembar kertas bersifat statis.