Nov 28, 2015

Catatan Perjalanan di Pulau Panggang : Dimulai dari yang Mudah dan Sederhana

Hendaknya kita mulai mengukur perubahan-perubahan yang telah terjadi pada lingkungan hidup terdekat, bisa dari tempat dan skala manapun. Metodenya bisa bertanya atau merunut kisah dari penuturan para sesepuh orang tua kita yang mengalami dan menyaksikan. Ke arah mana perubahan itu  terjadi? Perubahan yang menumbuhkan ataukah perubahan yang menghancurkan? Secara kasat mata bisa baik-baik saja, tapi subtansi perubahan itu sangat bisa mengandung kerusakan-kerusakan. Kita bisa menarik keadaan dari masa lalu, kemudian hadapkan pada kondisi hari ini. Hasilnya akan ada selisih. Pada matematika atau rumus-rumus ilmiah, perbedaan atau perubahan suatu keadaan dengan keadaan lainnya diwakili dengan delta (∆). Berapa delta perubahan kondisi lingkungan yang telah terjadi? Apakah yang disebut kemajuan telah membuat delta positif atau malah kemajuan itu menghasilkan selisih negatif.

Ketika (30/08/2015) menyusuri Pulau Panggang-Kepulauan Seribu, terlihat hampir seluruh wilayah pulau didominasi oleh bangunan rumah-rumah. Vegetasi atau pepohonan bisa dihitung dengan pasti. Di pulau seluas 9 hektar, akan kemanakah sampah-sampah yang dihasilkan itu berakhir? Di sepanjang jalan, tak jarang sampah-sampah menjadi semacam aksen yang fungsinya juga belum bisa disepakati sebagai pelengkap keindahan. Pertanyaan di atas mengenai perjalanan sampah, terjawab ketika ditunjukkan tempat mesin insinerator. Sampah yang jenisnya heterogen itu dimasukkan pada chamber pembakaran, untuk direduksi volumenya dengan cara dibakar. Tapi semuanya belum berakhir, sesuatu yang dibakar akan menghasilkan emisi. Jika pembakaran tidak dilakukan dengan cara yang tepat, maka kemungkinan besar bisa menimbulkan senyawa dioksin yang akan mencemari udara di sekitar lingkungan melalui asap hasil pembakaran. Gagasan yang dimaksud sebagai solusi akhirnya bisa melahirkan petaka baru.

Perjalanan di Pulau Panggang saya akhiri untuk mencari masjid, tujuannya satu  : merasakan langsung kondisi air di pulau. Air yang keluar dari keran saya gunakan untuk sekedar berkumur-kumur, rasanya identik dengan air yang ada di laut. Dari kejadian itu, saya menemukan alasan mengenai penadah air hujan berupa toren bak air yang dipasang di rumah-rumah penduduk. Cara yang diterapkan masyarakat tersebut bisa jadi salah satu solusi untuk mengatasi air bersih, tapi bukan untuk dalam jangka waktu yang lama. Sebab di atas tanah tempat mereka berpijak juga mengalami masalah yang serius, yakni intrusi air laut.

Awalnya, Pulau Panggang terbentuk dari makhluk sejenis karang – yang bertransformasi menjadi wadah bagi pembentukan gosong hingga munculnya daratan pulau Panggang. Kemudian berjalannya waktu, humus dan tanah terbentuk dari tumbuhan atau pepohonan yang  benihnya terbawa jauh oleh angin maupun arus laut. Kondisi tersebut menjadi syarat yang memungkinkan untuk tersedianya air tanah yang tawar di Pulau. Berdasarkan kisah yang pernah dialami, Ibu Mahariah yang lahir dan besar di Pulau Panggang adalah generasi yang masih merasakan tawarnya air tanah. Letak air tawar itu biasanya berada di sumur-sumur dekat pohon-pohon tua, sejenis pohon nyamplung atau beringin. Jumlah vegetasi pun kondisinya lebih banyak dulu dari pada hari ini, ungkapan ini bedasarkan apa yang disaksikannya.

Dari peristiwa singkat di atas, kita bisa mengetahui delta perubahan sebuah tempat. Caranya adalah dengan mem-plot kondisi lingkungan pada waktu dulu dan hari ini. Kondisi lingkungan bisa dilihat dari keberadaan vegetasi atau pohon-pohon, kualitas air tanah, maupun edukasi masyarakat. Visualisasinya bisa dilihat pada grafik dua dimensi berikut ini, dimana sumbu x adalah perjalanan waktu dan sumbu y adalah kondisi perubahan lingkungan.

Pada grafik, titik A adalah kondisi lingkungan yang pernah dialami oleh Ibu Mahariah. Di mana air tanah masih tawar dan jumlah vegetasi masih banyak.  Titik B adalah kondisi lingkungan disaat saya melakukan pengamatan di Pulau Panggang. Rumah-rumah mendominasi wilayah pulau, vegetasi bisa dihitung dengan pasti, dan air tanah sudah mengalami intrusi air laut. Delta dari titik B dan A akan menghasilkan selisih. Dilihat dari grafik, perubahan yang terjadi telah membuat delta negatif pada perubahan lingkungan. Ada yang berubah. Tapi haruskah perubahan itu ditandai dengan kehilangan dan kerusakan ? Pola hidup masyarakat sudah terlanjur bergeser pada pola hidup praktis, sehingga yang praktis yang menjadi pilihan. Sebagaimana plastik yang diproduksi dalam waktu singkat, tapi untuk mengurainya perlu waktu ribuan tahun. Jika peristiwa ini terus berlanjut, tentu perubahan yang membangun kehidupan menjadi hal yang mustahil.

Dimulai Dari yang Mudah dan Kita Mampu
Hampir setiap kebutuhan manusia seperti Food, Fuel, Fodder, dan Feedstock dipenuhi dari alam. Sesuatu yang diambil dari alam secara terus-menerus tanpa dipikirkan keberlanjutannya, maka akan habis. Hal ini berlaku dimanapun kita tinggal. Apabila pulau kecil seperti Pulau Panggang tak dijaga keberlanjutannya, kita tinggal menunggu waktu kehilangan-kehilangan berikutnya dan efeknya akan terus diwariskan kepada generasi selanjutnya. Pilihannya ada dua; mulai melakukan perbaikan atau diam dengan membiarkan yang berbuat kerusakan untuk menang. Tapi siapapun pasti tidak akan rela jika harus membiarkan generasi selanjutnya hidup dalam kesulitan yang bertambah.

Dari mana memulai perbaikan itu? Kita mulai dari cara yang mudah dan kita mampu. Di Pulau Pramuka sudah ada masyarakat yang memulainya. Dengan teknologi yang tidak terlalu rumit dan mahal, beberapa rumah di Pulau Pramuka telah membuat teknologi LRB (Lubang Resapan Biopori).  LRB adalah lubang silindris berdiameter 10 cm dengan kedalaman  1 meter. Ada dua hal yang bisa diperbaiki dengan LRB. Pertama, lubang resapan membantu mengoptimalisasi proses resapan air ke dalam tanah sekaligus memperbaiki kapasitas air tanah. Kedua, dengan memasukkan sampah organik ke dalam LRB, volume sampah akan direduksi oleh organisme tanah untuk diproses menjadi kompos.  Jika LRB ini diterapkan di setiap rumah di Pulau Panggang, masyarakat bisa memanen kompos untuk dijadikan media tanam. Sampah-sampah an-organik yang dihasilkan bisa dengan mudah dipilah untuk di daur ulang. Bagaimana cara penerapannya, bukankah banyak rumah yang tidak memiliki halaman? Kalau dilihat lintasan jalan yang ada di Pulau Panggang menggunakan paving block, jika rumah depan rumah warga berbatasan langsung dengan jalan, maka pembuatan LRB bisa disiasati pada jalan di depan rumah. Sehingga apabila hujan turun, genangan air di jalan dapat dibantu penyerapannya melalui lubang-lubang LRB yang ada.

Selanjutnya, untuk mendukung perbaikan kualitas air tanah selain dengan pembuatan LRB, juga harus diupayakan dengan melakukan penanaman pohon pada lahan-lahan yang bisa disepakati sebagai himaa (kawasan yang dijaga kelestariannya untuk kepentingan umum jangka panjang). Berdasarkan pentunjuk-Nya, sebuah wilayah yang mati bisa dimakmurkan kembali dengan melakukan penanaman agar menjadi subur dan memancarkan mata air (QS.36:33-34). Bagaimana hal itu dapat terjadi ? Dengan melakukan penanaman, maka tanaman menjadi mediator yang menangkap Nitrogen (N2) di udara untuk diubah menjadi nitrogen yang siap dikonsumsi oleh tanaman. Unsur-unsur utama yang dibutuhkan tanah dapat dipenuhi kembali dari tanaman yang ditanam tadi. 
Rindangnya pohon dan daun-daun yang jatuh menutupi tanah, akan membuat iklim mikro untuk mengurangi penguapan dari air hujan yang jatuh di permukaan. Kemudian akar-akar tanaman akan memperbaiki daya serap tanah terhadap air hujan yang jatuh di permukaan tanah. Dengan kondisi iklim mikro yang terbentuk tadi, maka di tempat tumbuhnya tanaman, air dapat tersimpan secara baik – dalam waktu yang lama akan menaikkan permukaan air tanah (water table). Jika bagian permukaan air tanah (water table) terus terisi maka akan naik mendekati permukaan tanah, hingga bertemu dengan bagian tanah, maka disitulah mata air akan memancar.

Pertanyaannya pohon apa yang mesti ditanam? Merujuk dari informasi yang diperoleh, bahwa sumur-sumur air tawar pada waktu dahulu banyak ditemukan dekat pohon nyamplung dan waru. Kita bisa menggunakan informasi itu sebagai acuan untuk menentukan jenis pohon yang akan ditanam. Pohon nyamplung bisa jadi tanaman utama untuk memperbaiki kawasan yang disepakati sebagai himaa. Dari literatur yang didapat pohon nyamplung banyak tumbuh di daerah pesisir. Secara alami penyebarannya dapat terjadi melalui arus laut atau buah yang dibawa oleh hewan seperti kelelawar. Jadi kalaupun kita tidak menanamnya, pohon-pohon tersebut dapat tumbuh secara alami, tapi dengan syarat manusia tidak melakukan kerusakan.

Melalui cara-cara yang telah disampaikan, delta (∆) perubahan positif bisa kita mulai dengan melakukan perbaikan lingkungan dan melestarikan kehidupan melalui cara yang mudah dan sederhana. Tidak ada cara instan untuk memperbaiki kerusakan di alam, sebab alam tumbuh dan berkembang secara alamiah. Tapi logika kebijakan untuk memperbaiki lingkungan seringkali memakai cara-cara praktis yang tidak murah.