Pagi tadi (13/12/2015) saya diajak untuk sarapan aneka
jajanan pasar di rumah seorang kawan. Di atas meja tampak lontong isi, donat
dari tepung ubi, dan bala-bala – tersusun rapi di dalam keranjang. Karena
ibu kawan saya tadi cerita, kalau aneka makanan tersebut adalah buatan sendiri, saya jadi semangat untuk
nyicip lagi.
Tiba-tiba dari kegiatan memperhatikan aneka makanan yang disediakan. Pikiran saya menyentuh suatu hal. Loh ini ndak ada plastik-plastik pembungkusnya. Biasanya kita nikmati jajanan yang tak jarang dibungkus dengan kemasan, belinya di warung atau di mart-mart. Praktis, tidak repot, dan langsung bisa dinikmati. Tapi kemudian kita hasilkan sampah kemasan. Bermuara kemana perjalanan sampah kemasan tersebut?
Faktanya tata kelola sampah yang diterapkan di Indonesia masih
memindahkan tumpukan sampah dari rumah-rumah menuju tempat pembuangan akhir
(TPA). Visualisasinya jelas dan nyata, sampah-sampah terus terakumulasi di
TPA. Dan selesai. Kalau demikian apa
yang kita bangun tentang masa depan? Kegiatan produksi dan konsumsi terus kita
langsungkan, tanpa pernah berpikir tentang daur hidup.
Diantara makanan yang disajikan, lontong isi yang dibungkus
dengan daun pisang menjadi menarik. Sejak kapan kemasan makanan dari kertas dan
plastik mulai digunakan? Bagaimana ide penggunaan daun pisang bisa ditemukan?
Tentu prosesnya panjang dan purba, entah apakah bisa dilacak siapa yang pertama
kali menggunakan daun sebagai pembungkus makanan.
Diambilnya daun-daun dari pepohonan. Berasal dari alam dan
kemudian menyatu kembali menjadi unsur alamiahnya.
Dari kisah yang didapat, sebelum plastik dan pembungkus
kertas melanda pasar desa. Ibu-ibu tangguh yang menunggu panen hasil ladang,
mengisi waktunya mengumpulkan daun-daun jati untuk menyambut pintu-pintu yang
tak terduga. Wa yarzuqu min haitsu laa yahtasib. Ketika pagi masih berkabut
dipanggulnya gulungan daun jati ke pasar. Pasar waktu itu masih belum mengenal plastik,
yang dipakai adalah daun jati sebagai pembungkus daging dan aneka barang
sembako.
Ketika plastik mulai digunakan, daun-daun jati itu harus
dipanggulnya kembali ke rumah.
Ada yang disebut kemajuan, tapi kemudian ada yang mesti
kehilangan. Ada yang terus diproduksi, tapi kemudian harus berakhir menjadi
sampah. Padahal kehidupan adalah rantai siklus yang panjang, komples, dan
lengkap.