Tulisan di majalah SABANA edisi ke-7 yang berjudul "Emha :Tukang Ditengah Kegaduhan", saya landasi tulisan itu dengan “La tarfa’u aswatakum fauqa sautin Nabiyyi”. Diantara manusia tidak ada yang boleh lebih terkenal dari Rasulullah, apalagi Allah. Saya tidak punya posisi untuk meng-idoll-a-kan Emha. Kalau ada kebaikan diantara kesemerautan maka akan saya kabarkan, bahwa masih ada yang berbuat baik. Masih ada yang berani melakukan tindakan yang tak populer dan marketable. Kalau ada kebaikan, kebenaran, dan keindahan maka itu yang akan saya sampaikan melalui tulisan.
Pada tahun 1981 Emha datang ke Amerika memenuhi undangan sebagai tamu VIP. Diantara misi dari undangan itu, adalah mencetak tokoh berpengaruh di Indonesia dengan karakter yang bisa dikendalikan Amerika. Disana, rombongan Emha diajak ke sebuah gedung 'Sum Yung' (tempat khusus untuk melakukan brainwash). Berbagai doktrin pemikiran, gaya hidup, cara pandang, sistem berpolitik, dll ala barat menjadi asupan bagi tamu-tamu yang datang. Bahkan, sebagai tamu negara, Emha mendapat fasilitas khusus berbelanja sesuai yang diinginkan dan akan dikirim oleh ARMY langsung ke Yogyakarta. Emha membeli buku-buku dan pakaian secukupnya. Namun, untuk fasilitas lainnya seperti indroktinisasi tak mempan untuk mempengarhui Emha. Emha punya landasan sederhana, "Ihaiyo, saya ini orang ndeso, di Indonesia saja saya sudah sangat berkecukupan, apalagi sebagai orang jawa, filsafat hidup jawa itu lebih tinggi dari doktrin barat. Kemegahan hidup yang ditawarkan oleh barat, tidak membuat kepincut sedikit pun atas sikap ke-bayi-an saya. Bukan Amerika yang mengurus saya, melaingkan Allah".
Karena sikap Emha tadi, membuat gerakan perjuangannya jauh dari dukungan Amerika. Sementara ada banyak tokoh di Indonesia yang namanya dibesarkan Amerika dan segala gerak perjuangannya disokong. Dan akhirnya menjadi kepanjangan tangan perpolitikan Amerika. Sampai hari ini Emha tidak ada di kurungan-kurungan manapun. Berbuat baik dimana saja, kapan saja, dan bersama siapa saja.