Jan 8, 2016

'Dep-depan'

Bismillah-irrahman-i­rrahim

Tayangan di televisi malam itu pas film The Raid mendekati akhir. Adegannya dua orang saling berhadapan dan memasang kuda-kuda. Siap untuk bertarung. Keduanya mengeluarkan berbagai jurus seni beladiri pencak silat. Posisinya jelas. Siapa lawan dan siapa yang dilawan.

Itu gambaran kecil sikap ksatria. Dulu pas jaman majapahit, kapal-kapal didesain dengan ukuran besar untuk ekspor hasil bumi. Tidak terpikir untuk melengkapinya dengan peralatan militer. Sebab kalau sudah terwujud rasa aman, kita tidak kepikiran untuk mengunci pintu. Tapi ternyata satu waktu ditengah perjalanan, kapal-kapal itu diserang oleh Portugis dengan jarak jauh memakai meriam. Semetara manusia Nusantara itu ksatria, dimana ksatria kalau bertarung dan melakukan perlawanan adalah melalui duel - saling 'dep-depan' (berhadapan). Sejarah kemerdekaan bangsa ini pun perlawanannya adalah berhadapan pakai bambu runcing.

Masa kini sikap ksatria sudah tidak dibutuhkan lagi. Banyak yang melempar dari jauh. Pakai rudal, senjata api, nuklir, twitter, facebook, whatsapp, broadcast. Manusia jadi pengecut.  Kini tanpa harus berhadapan, manusia bisa menyerang siapa saja tanpa saling berhadapan. Menghancurkan orang dari kejauahan dan tidak jantan berhadapan.

Mengutip kisah Emha ketika tampil di televisi nasional. Ketika itu hadir Bambang Tri Hatmojo, anaknya pak Harto. Ketika dipanggung, Emha diberi kertas, isinya peringatan agar berhati-hati sebab ada anak Pak Harto. Selanjutnya, yang terjadi adalah Emha benar-benar berlaku hati-hati. Mengangkat tangan kiri dengan hati-hati, telunjuknya diluruskan dengan hati-hati dan menuding ke arah Bambang.

Tidak ada yang menduga. Emha kemudian berujar “Bambang Tri!. Nanti pulang ke rumah bukalah buku catatan kekayaanmu. Coba dihitung dengan seksama berapa persen yang halal, berapa persen yang haram dan berapa persen yang syubhat…

Suasana ruangan menjadi sangat tegang, para pejabat kebingungan. Emha kemudian meneruskan : “Saya tahu kata-kata dan sikap saya sangat menusuk dan menyakitkan hati bung Bambang, tetapai mohon diingat bahwa itu hanya secipratan dibandingnya sakit hati rakyat selama ini”

Emha sampaikan kritiknya langsung dihadapan orang yang dimaksud. Saling berhadapan dan tanpa tendeng aling-aling. Mengkritik tanpa merendahkan. Emha mengingatkan untuk meng-hisab mana yang halal dan syubhat. Kalau ada kucing tercebur diselokan, hampiri dan angkat kucing itu dari selokan kemudian bersihkan. Kalau saudara kita terperosok ke dalam parit yang kotor, bantu dia ke atas tanah yang bersih. Caranya bisa melalui kritik, saran, desakan, atau datangi langsung –ungkapkan muatan cinta agar semua selamat di hadapan Allah.

Kini semakin canggih alat mediator yang digunakan manusia, nyatanya membuat peradaban manusia semakin rendah. Aneh! facebook, twitter, whatsapp, dlsb. kok bisa disebut sebagai media sosial. Padahal mediator itu tidak mampu memberikan nuansa maupun rasa yang sesungguhnya. Jauh berbeda ketika kita omong-omong sesuatu sambil berhadapan (ber-muwajahah) – kasih sayang yang terbangun secara organis akan memberikan nuansa dan rasa sesungguhnya.

Ksatria itu saling berhadapan. Melempar dari kejauhan, itu namanya pengecut