Aktivitas Anak-Anak waktu sore hari di Jln. Pemuda IV, Rawamangun (27 Januari 2016) |
Kota-kota banyak dikepung oleh bangungan-bangunan. Kalau
rumah atau bangungan-bangunan bersifat privat, maka jalan menjadi ruang luar
sekaligus ruang dalam dari sebuah kota. Ketika keluar dari sebuah gedung atau
bangungan, maka segera kita menjejakkan kaki di jalan. Saat itu kita hanya tahu
bahwa fungsi jalan sekedar penghubung dari satu tempat ke tempat lain. Menjadi kejadian
biasa dan wajar jika jalan didominasi oleh aktivitas lalu lalang kendaraan atau
menjadi tempat parkir. Benarkah rutinitas tersebut menjadi hal yang wajar dan
tidak perlu lagi dipertanyakan, dikaji, atau direkonstruksi kembali ?
Petanda apa jika anak-anak keluar rumah, kemudian
mengokupasi jalan sebagai ruang bermainnnya? Aktivitas bermainnya anak-anak
menjadi semacam senepo. Kritiknya halus dan tersembunyi. Ketika jalan menjadi
tempat pertemuan, ruang untuk saling berinteraksi dan aktivitas bersama, maka
itu wujud dari definisi ruang publik atau ruang khalayak. Kota mesti
dibangun sebagai ruang yang hidup, bukan sekedar ruang bagi kuda-kuda bermesin.
Main-mainnya anak-anak di jalan adalah tumbuh dan terbangun
secara organis, bukan atas dorongan event atau sponsor seperti pada acara car free day – dimana ruang khalayak
hanya sebatas menutup jalan dan kemudian esok hari masyarakat kembali tak
memiliki ruang khalayak yang sesungguhnya.